Rapuhnya Hati Manusia
Dibalik tampilan yang mungkin terlihat tangguh dan kuat, sesungguhnya dalam dirinya manusia memiliki hati yang rapuh. Ia cepat sekali terombang-ambingkan oleh berbagai situasi yang terjadi. Kegembiraan yang membuncah dalam hati, seketika berubah saat menghadapi berita dukacita yang datang dari jauh. Segala kepastian yang dirasakan hati seketika goyah saat menerima kabar yang mengombang-ambingkan segala pondasi masa depan. Kemarahan, kekecewaan, dan kebencian begitu mudahnya mengusik kita dan mengubah cara kita melihat serta memperlakukan orang lain. Dalam kacamata iman, begitu sulitnya kita untuk menambatkan hati secara utuh pada karya kasih Allah melalui Kristus yang selalu menyapa kehidupan kita. Selalu ada saja alasan untuk meragu atas karya-Nya.
Perikop kita kali ini berkisah tentang orang-orang yang juga berubah hatinya. Mereka yang pada mulanya mengelu-elukan-Nya sebagai Sang Mesias yang telah lama dinantikan, pada akhir minggu telah merubah seruannya agar Yesus disalibkan berdasarkan kesalahan-kesalahan yang tidak dilakukan-Nya. Inilah peristiwa yang dalam kalender gerejawi saat ini dikenal dengan minggu palmarum. Minggu terakhir sebelum rangkai peristiwa tri hari suci dimulai. Sebuah titik penanda akan dimulainya sengsara serta kematian Kristus.
Sang Raja telah Tiba
Setelah perjalanan pelayanan-Nya, Yesus bersama murid akhirnya tiba di Yerusalem sebagaimana orang-orang Yahudi saat itu yang hendak merayakan Paskah. Yesus berjalan dahulu ke kota itu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Pada saat yang hampir bersamaan, Yesus menyuruh murid-Nya untuk mencari keledai sebagai tunggangan memasuki Yerusalem. Hal ini sesuai dengan apa yang dinubuatkan oleh Nabi Zakharia bahwa Sang Raja damai telah tiba. Dalam tindakan simbolis ini Yesus hendak memperkenalkan konsep Mesias yang jauh berbeda dengan pandangan mesias secara politis.
Raja biasanya datang ke kota dengan menaiki kuda. Binatang yang gagah dan tunggangan raja saat perang. Namun keledai adalah binatang yang akrab dalam keseharian masyarakat Yerusalem saat itu. Hewan yang dapat diandalkan untuk berbagai keperluan. Ia bukanlah simbol perang (kekerasan) atau kegagahan, melainkan perdamaian dan kasih Sayang. Dengan menaiki transportasi rakyat pada umumnya, Yesus hendak memperkenalkan dirinya sebagai Sang Mesias yang datang dengan kerendahan hati serta kesederhanaan. Peristiwa ini semakin menggarisbawahi misi Sang Mesias, sebagai Sang Anak Allah yang hadir dan bersama dengan umat manusia. Raja yang berbela rasa serta mengerti betul apa yang dirasakan oleh umat.
Murid-murid menghamparkan jubahnya sebagai alas bagi Sang Mesias, bagaikan karpet indah yang dibentangkan demi mengiringi kedatangan yang paling terhormat. Bersamaan dengan prosesi ini para murid menaikkan puji-pujian, mengajak khalayak ramai untuk turut serta dalam puji-pujian itu. Mereka bersukacita atas segala karya ajaib yang telah Dia lakukan dan memuliakan Yesus sebagai Raja yang datang dalam nama Tuhan. Dapat diasumsikan bahwa khalayak ramai pun turut serta dalam gegap gempita sambutan ini. Sang Mesias telah hadir dan hendak menyelamatkan umat-Nya
Merespon Sang Mesias
Sayangnya tidak semuanya nyaman dan terbuka matanya atas petunjuk yang begitu gamblang akan kehadiran Sang Mesias. Orang-orang Farisi justru mencemaskan peristiwa tersebut. Mereka takut “keributan” tersebut terdengar oleh semakin banyak orang. Yesus akan semakin dikenal dan meruntuhkan kepercayaan umat terhadap orang-orang Farisi. Berita sukacita itu justru meresahkan mereka yang memang senang berkubang dalam segala manipulasi dan pengagungan diri. Dalam ketegasan Yesus menjawab orang-orang Farisi bahwa tidak ada satupun yang dapat menghentikan sorak sorai kesukacitaan itu, bahkan “jika mereka diam, maka batu-batu akan berteriak” (ay. 40).
Adegan yang penuh dengan dinamika ini ditutup dengan ratapan Yesus bahwa pada akhirnya Yerusalem tidak juga mengerti bahwa penyelamatan Allah telah datang. Mereka tidak dapat merespon dengan tepat hingga pada akhirnya kebinasaan akan menjumpai mereka.
Dengan demikian yang perlu kita refleksikan lebih lanjut dalam momentum minggu palmarum ini adalah respon yang tepat terhadap karya penyelamatan Allah yang telah diwartakan kepada dunia. Jika orang-orang Yerusalem terlambat mengetahui karya Yesus bahkan pada akhirnya berbalik mendukung penyaliban-Nya, maka hendaklah kita melatih hati serta kepekaan kita dalam merespon karya-Nya. Masihkah kita hendak berdiam dalam kekerasan hati atau memilih untuk berserah kepada karya-Nya yang mengubahkan hidup kita.
Proses untuk mengikuti dengan sungguh Sang Mesias mungkin terasa tidak mudah. Kita diundang tidak hanya terlibat dalam sorot terang kemuliaan-Nya melainkan turut serta dalam penderitaan-Nya. Bukankah seringkali derita itu juga datang ketika kita bersungguh-sungguh untuk mewujudkan nilai dan ajaran-Nya? Menjadi pengikut-Nya pada akhirnya adalah turut serta dalam penderitaan-Nya dan turut bangkit dalam kemuliaan-Nya.