Perempuan Harus Diam?

Berita | 22 April 2025

Perempuan Harus Diam?


Sepanjang sejarah peradaban manusia, posisi perempuan dalam tatanan sosial dan keagamaan mengalami pasang surut yang dinamis. Salah satu isu sentral yang terus menjadi perdebatan adalah ide mengenai ketundukan perempuan terhadap laki-laki, baik dalam konteks domestik maupun publik, termasuk di dalam gereja. Tidak jarang ayat-ayat Alkitab menjadi bahan diskusi dan bahkan gugatan, terutama dari perspektif teologi feminis. Salah satu ayat yang paling sering menjadi sorotan adalah 1 Korintus 14:34–35, yang secara eksplisit menyatakan bahwa “Sama seperti dalam semua jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus diam dalam pertemuan jemaat.” Apakah ini merupakan bentuk pembenaran teologis atas ketundukan perempuan? Ataukah konteksnya lebih kompleks dari apa yang tampak?


1 Korintus 14:34–35 TB2

“Sama seperti dalam semua jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus diam dalam pertemuan jemaat. Sebab, mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus tunduk, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab, tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan jemaat”


Teks ini seringkali dipandang sebagai pembatasan mutlak terhadap partisipasi perempuan dalam gereja. Namun, penafsiran yang cermat terhadap teks ini menunjukkan adanya kompleksitas dalam penyampaian Paulus yang tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya, sosial, dan bahkan struktur teks itu sendiri.


Terdapat setidaknya tiga pendekatan penafsiran utama terhadap ayat ini:


1. Pandangan Tradisional tentang 1 Korintus 14:34–35: Apakah Teks Ini Merupakan Pandangan Asli Paulus?

Bagi mereka yang menganut pandangan ini, 1 Korintus 14:34–35 dianggap mencerminkan posisi Paulus yang mendalam terhadap peran perempuan dalam jemaat. Pandangan ini berpendapat bahwa larangan berbicara bagi perempuan bersifat mutlak dan berlaku secara umum. Ini dilatarbelakangi oleh budaya patriarkal yang dominan pada zaman tersebut, yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki, terutama dalam konteks peran sosial dan religius. Dalam masyarakat pada masa itu, perempuan tidak dianggap layak untuk mengajar atau memimpin dalam pertemuan jemaat, yang sebagian besar dipimpin oleh laki-laki.


Pandangan ini sering kali diperkuat dengan merujuk pada teks lain, seperti 1 Timotius 2:11–12, yang juga menyuarakan larangan serupa terhadap perempuan untuk mengajar atau berkuasa atas laki-laki. Dengan demikian, mereka yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa pernyataan Paulus dalam 1 Korintus 14:34–35 mencerminkan pandangannya yang "asli" dan harus diterima tanpa perubahan. Pandangan ini melihat teks tersebut sebagai pedoman yang berlaku sampai selama-lamanya, tanpa mempertimbangkan perbedaan kontekstual atau situasional yang mungkin ada dalam jemaat-jemaat Kristen pertama.


Problem dalam Pandangan Tradisional: Konteks yang Tidak Terlihat

Namun, sebuah masalah muncul ketika kita membandingkan 1 Korintus 14:34–35 dengan 1 Korintus 11:5, di mana Paulus menyatakan bahwa perempuan boleh bernubuat dan berdoa dalam jemaat, asalkan mereka menutupi kepala mereka. Pernyataan ini seolah bertentangan dengan larangan yang disebutkan dalam 1 Korintus 14:34–35. Jika Paulus benar-benar menilai perempuan tidak boleh berbicara dalam ibadah, mengapa ia memberikan izin bagi mereka untuk bernubuat dan berdoa? Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah larangan berbicara dalam 1 Korintus 14:34–35 bersifat mutlak atau apakah ada faktor kontekstual yang perlu dipertimbangkan.


Pandangan yang Menghadirkan Konteks Sosial dan Pendidikan

Beberapa penafsir berpendapat bahwa larangan berbicara bagi perempuan dalam 1 Korintus 14:34–35 tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat kontekstual dan terbatas. Menurut pandangan ini, Paulus sebenarnya membatasi perempuan dari berbicara dalam situasi di mana mereka belum terdidik dengan baik dalam etika berbicara publik. Pada zaman itu, perempuan sering kali tidak mendapatkan pendidikan yang cukup untuk berpartisipasi secara efektif dalam diskusi atau pertemuan umum, termasuk pertemuan jemaat. Oleh karena itu, larangan ini lebih berfokus pada menjaga ketertiban dan keteraturan dalam ibadah jemaat, bukan mengekang peran perempuan secara keseluruhan.


Pendukung pandangan ini, seperti Craig Keener, berpendapat bahwa Paulus lebih menekankan pada pengaturan tata tertib dalam pertemuan jemaat. Jika perempuan memiliki pertanyaan atau kebingungannya, mereka diizinkan untuk bertanya kepada suami mereka di rumah, tanpa mengganggu jalannya ibadah. Dengan demikian, larangan berbicara hanya berlaku bagi perempuan yang tidak terdidik dalam cara berbicara atau berinteraksi dalam forum publik.


Selain itu, pandangan ini juga menganggap bahwa setelah perempuan memperoleh pendidikan yang memadai dan memahami etika berbicara dalam pertemuan umum, mereka diizinkan untuk berpartisipasi dalam doa dan nubuat, seperti yang dinyatakan dalam 1 Korintus 11:5. Dengan demikian, perempuan tidak dilarang untuk berbicara secara mutlak, tetapi lebih pada pengaturan waktu dan konteks yang tepat.


Masalah Otoritas dalam Budaya Zaman Itu

Salah satu hal yang menjadi perhatian dalam 1 Korintus 14:34–35 adalah masalah otoritas. Pada zaman itu, perempuan tidak diperkenankan untuk memegang otoritas atau mengkritik laki-laki dalam pertemuan jemaat. Dalam budaya patriarkal, peran perempuan terbatas pada peran domestik, dan memberikan mereka kesempatan untuk mengkritik atau mengevaluasi otoritas laki-laki dalam jemaat dianggap tidak pantas. Ini mungkin menjadi salah satu alasan mengapa perempuan dilarang untuk berbicara secara bebas dalam konteks tertentu, meskipun mereka dapat berdoa dan bernubuat.


Pandangan Eskatologis: Perubahan yang Tidak Terlalu Urgent

Beberapa penafsir juga melihat pernyataan Paulus ini dalam konteks eskatologis. Mereka berpendapat bahwa pada waktu itu, banyak orang percaya bahwa kedatangan Tuhan sudah dekat dan bahwa struktur sosial yang ada, termasuk pandangan patriarkal terhadap perempuan, tidak perlu diubah karena semuanya akan segera diperbarui dengan kedatangan kerajaan Tuhan. Dalam pandangan ini, aturan-aturan sosial yang ada pada saat itu, termasuk aturan mengenai peran perempuan, dianggap sementara dan tidak terlalu penting untuk diubah, karena segala sesuatu akan segera dipulihkan oleh Tuhan.


Kesimpulannya, meskipun pandangan tradisional mengenai 1 Korintus 14:34–35 sering kali menafsirkan teks ini sebagai pandangan Paulus yang berlaku secara mutlak dan sepanjang waktu, penting untuk mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan pendidikan yang ada pada zaman itu. Teks ini mungkin lebih mencerminkan pengaturan praktis yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dalam pertemuan jemaat, bukan larangan mutlak terhadap peran perempuan dalam ibadah. Dalam hal ini, 1 Korintus 14:34–35 dapat dilihat sebagai bagian dari pendekatan Paulus yang kontekstual terhadap peran perempuan dalam jemaat, yang bisa berbeda-beda tergantung pada situasi dan perkembangan zaman.


2. Pandangan Retoris: Paulus Mengutip Pandangan Jemaat Korintus untuk Dikritik

Gaya Retoris Paulus, Mengutip untuk Mengkritik. Gaya ini bukan hal baru dalam tulisan Paulus. Dalam surat 1 Korintus sendiri, ia beberapa kali mengutip slogan atau pandangan populer yang beredar di kalangan jemaat untuk kemudian dibantah atau diberi makna baru dalam terang Injil. Contohnya terdapat dalam 1 Korintus 6:12–13, 8:1, dan 10:23–24. Dalam kasus-kasus tersebut, Paulus tidak serta-merta menyetujui slogan yang ia kutip, melainkan menggunakannya sebagai titik tolak untuk koreksi teologis.


Namun, berbeda dengan kutipan singkat sebelumnya, kutipan dalam 1 Korintus 14:34–35 cukup panjang, sehingga tidak secara eksplisit ditandai sebagai kutipan dalam naskah Yunani asli. Hal ini menyebabkan tafsiran bahwa ayat-ayat ini adalah kutipan tetap bersifat spekulatif, meskipun didukung oleh sejumlah argumen kuat.


Mengapa Ayat Ini Dianggap Bukan Pandangan Paulus?

Terdapat beberapa alasan utama mengapa ayat 34–35 kemungkinan besar bukan berasal dari pemikiran Paulus sendiri:


Pendasaran pada Hukum Taurat

Ayat 34 menyatakan bahwa perempuan harus tunduk, sebagaimana dikatakan dalam “hukum Taurat”. Ini tidak lazim bagi Paulus yang dalam surat-surat lainnya (seperti Roma dan Galatia) justru cenderung kritis terhadap otoritas Taurat dalam kehidupan Kristen. Paulus hanya mengutip hukum Taurat secara positif dua kali dalam surat 1 Korintus (9:9 dan 14:21), dan itu pun dalam konteks yang sangat spesifik. Dalam 1 Korintus 15:56, ia bahkan menyebut bahwa “Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat”.


Kontradiksi Internal dalam Surat yang Sama

Dalam 1 Korintus 11:5, Paulus mengakui bahwa perempuan dapat bernubuat dan berdoa dalam pertemuan jemaat, asalkan mereka menutupi kepala. Maka, tidak masuk akal jika beberapa pasal kemudian, Paulus melarang perempuan berbicara sama sekali. Menafsir ayat 34–35 sebagai kutipan dari pihak lain yang kemudian dikritik di ayat 36 akan menyelesaikan kontradiksi ini secara elegan.


Partikel Disjungtif sebagai Sinyal Penyangkalan

Ayat 36 dimulai dengan partikel Yunani ἤ (ē), yang dapat berfungsi untuk menyangkal atau mengoreksi pernyataan sebelumnya. Hal ini mendukung gagasan bahwa Paulus sedang menentang isi ayat 34–35.


Pemakaian Kata “μόνους” (maskulin jamak)

Dalam ayat 36, Paulus bertanya, “Atau hanya kepada kamu sajakah firman itu telah datang?”: ἢ εἰς ὑμᾶς μόνους κατήντησεν. Kata μόνους (monous), di sini berjenis kelamin maskulin-jamak dalam bahasa Yunani, yang lebih mungkin merujuk pada para pria dalam jemaat, bukan seluruh jemaat termasuk perempuan. Ini mengindikasikan bahwa kritik Paulus diarahkan kepada sekelompok pria yang ingin memonopoli otoritas rohani dan membungkam perempuan.


3. Pandangan Sisipan/Interpolasi: Ayat Ini Bukan dari Paulus

Argumen utama yang mendukung pandangan ini adalah variasi posisi ayat 34–35 dalam beberapa manuskrip kuno. Dalam sejumlah naskah, ayat ini tidak muncul setelah ayat 33 seperti dalam teks standar saat ini, tetapi dipindahkan ke setelah ayat 40. Gejala seperti ini merupakan salah satu indikasi umum dalam kajian tekstual bahwa bagian tersebut kemungkinan merupakan penambahan belakangan. Dalam kajian kritis teks, posisi yang berpindah seringkali menunjukkan bahwa suatu bagian belum menjadi bagian tetap dari naskah asli.


Gangguan terhadap Alur Argumentasi

Secara diskursus, kehadiran ayat 34–35 mengganggu alur argumen Paulus. Tanpa dua ayat ini, ayat 33 dapat dilanjutkan secara langsung dan mulus ke ayat 36, karena keduanya membahas tema yang konsisten: ketertiban dan kepantasan dalam ibadat jemaat. Ayat 33 sendiri menutup diskusi tentang nubuat dan berbicara dalam bahasa roh dengan menyatakan bahwa “Allah bukan Allah kekacauan, melainkan Allah damai.” Ayat 36 kemudian memperkuat argumen ini dengan mempertanyakan secara retoris otoritas jemaat Korintus dalam menentukan norma ibadat, seakan-akan mereka adalah satu-satunya penerima firman Allah.


Keanehan ini mengindikasikan bahwa ayat 34–35 adalah interpolasi yang disisipkan untuk menegaskan norma sosial tertentu, yang kemungkinan besar sejalan dengan ethos patriarkal yang berkembang pada masa-masa setelah Paulus, terutama dipengaruhi oleh semangat dari 1 Timotius 2:11–3:1.


Mengapa Sisipan Itu Muncul?

Motif sisipan ini kemungkinan adalah penyesuaian terhadap norma sosial yang lebih patriarkal yang mulai menguat dalam gereja perdana. Penyalin atau editor mungkin merasa perlu menegaskan peran perempuan dalam ibadat agar sesuai dengan etika kesopanan dan ketertiban sosial waktu itu. Dalam hal ini, teks 1 Timotius yang sangat tegas melarang perempuan untuk mengajar dan memerintah atas laki-laki menjadi latar belakang teologis dan sosiologis munculnya ayat 34–35 dalam bentuk sisipan.


Kelemahan Pandangan Sisipan

Namun, pandangan ini juga menghadapi tantangan. Semua manuskrip kuno yang berwibawa tetap mencantumkan ayat ini, baik dalam posisi biasa (setelah ayat 33) maupun setelah ayat 40. Tidak ada satu pun manuskrip yang secara mutlak menghilangkan ayat 34–35 dari teks. Oleh karena itu, meskipun posisi ayat bervariasi, keberadaannya dalam semua naskah menunjukkan bahwa bagian ini sudah sangat awal diterima dalam tradisi teks 1 Korintus.


Upaya Memahami Ayat Ini Secara Lebih Adil

Jika teks ini tetap dipertahankan sebagai bagian dari surat Paulus (seperti dalam naskah-naskah yang ada), maka penafsirannya harus diberi nuansa agar tidak serta-merta menjadi dasar bagi tafsir yang opresif terhadap perempuan. Dalam hal ini, penafsiran ulang terhadap istilah kunci menjadi penting.


Frasa “harus diam”- σιγάω (sigáō) tidak selalu berarti membungkam secara mutlak. Dalam berbagai konteks, kata ini bisa berarti: berhenti bicara, menahan diri, atau diam dalam pengertian tertentu. Dalam konteks 1 Korintus 14, sigao tampaknya mengacu pada larangan berbicara dalam konteks tertentu, bukan dalam segala hal.


Kata “berbicara”- λαλεῖν (lalein) juga perlu dilihat dari konteks ayat-ayat sebelumnya (ayat 29–33), di mana Paulus membahas praktik bernubuat dan penilaian terhadap nubuat. Dalam hal ini, yang dilarang bukanlah semua bentuk berbicara, melainkan “menanggapi” atau “menilai” nubuat, yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu membedakan (diakrino) mana nubuat yang sejati dan mana yang keliru. Larangan ini bisa dimengerti sebagai larangan terhadap para isteri untuk secara publik “mengadili” nubuat para suami mereka, sesuatu yang tidak dapat diterima dalam budaya honor-shame dunia Mediterania kuno.


Apa yang Paulus Ingin Hindari?

Paulus tampaknya khawatir bahwa jika para isteri terlalu aktif berbicara dan menanggapi nubuat para suami dalam pertemuan jemaat, akan timbul kekacauan dan konflik yang mengganggu ketertiban ibadat. Beberapa akibat yang ingin Paulus hindari antara lain:

Terjadinya “pengadilan” publik terhadap para suami oleh isteri mereka, yang memalukan dalam budaya saat itu.

Ibadat berubah menjadi debat dan diskusi pribadi, bukan lagi momen mendengar firman Allah.

Pelanggaran terhadap etika berbicara yang tertib dan penuh hormat, sebagaimana dijunjung dalam tradisi Yahudi dan Yunani-Romawi.

Kekacauan dalam ibadat, yang bertentangan dengan semangat damai-sejahtera (ay.33) dan prinsip ketertiban yang sejalan dengan penciptaan.


Makna Ketundukan dalam Ayat 34

Pernyataan bahwa perempuan “harus tunduk” - ὑποτάσσω (hupotassō) pada ayat 34 juga perlu ditafsirkan hati-hati. Kata ini bukan berarti tunduk secara mutlak kepada suami, melainkan tunduk kepada tatanan ibadat yang hendak dijaga keteraturannya. Dengan demikian, perintah ini sejalan dengan prinsip bahwa segala sesuatu dalam jemaat harus dilakukan dengan tertib dan teratur (ayat 40).


Membaca 1 Korintus 14:34–35 secara harfiah dan tanpa konteks akan membawa pada pemahaman yang timpang tentang peran perempuan dalam gereja. Dalam konteks budaya patriarkal saat itu, Paulus mungkin menyuarakan penyesuaian demi ketertiban dan kesaksian gereja. Namun, teks ini tidak dapat dipahami sebagai larangan mutlak terhadap perempuan berbicara atau melayani dalam gereja. Ketika ditempatkan dalam keseluruhan narasi Perjanjian Baru dan praktik Paulus sendiri, terlihat bahwa Paulus tidak anti-perempuan, tetapi bergulat dengan konteks sosial yang kompleks. Oleh karena itu, pembacaan yang lebih adil dan objektif perlu mempertimbangkan konteks sejarah, teks lain dalam Alkitab, dan semangat Injil yang membebaskan.



Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia