Kristus dan Keadilan: Satu Ajaran Utopis?

Berita | 11 Sep 2025

Kristus dan Keadilan: Satu Ajaran Utopis?


Seminar Alkitab | Pdt Dr. Martin L. Sinaga


Pendahuluan 

Keadilan adalah salah satu hal paling mendasar dalam kehidupan manusia. Sejak peradaban paling awal, manusia selalu mencari cara untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban, memastikan bahwa setiap individu diperlakukan secara adil. Hampir setiap bangsa, agama, dan filsafat menempatkan keadilan sebagai fondasi utama bagi keberlangsungan masyarakat yang stabil dan harmonis. Namun, persoalan yang terus menghantui adalah: apakah keadilan yang sempurna itu sungguh dapat diwujudkan, atau sekadar gagasan utopis yang indah tetapi mustahil untuk diraih?

 

Dari perspektif Alkitab dan filsafat, keadilan ditempatkan bukan sekadar sebagai gagasan, melainkan tuntutan praksis dalam kehidupan sosial. Keadilan Kristiani menegaskan bahwa ia bukan sesuatu yang utopis, melainkan panggilan nyata yang harus diwujudkan di tengah dunia, sebagai tanda hadirnya Allah dalam sejarah umat manusia.

 

Keadilan: Antara Universalitas dan Dimensi Spiritual

Memahami keadilan adalah pengakuan atas kebutuhan universal dan perjuangan manusia yang tak pernah usai. Masyarakat yang beradab tidak bisa bertahan tanpa sistem yang menyeimbangkan hak dan kewajiban warganya. Secara sederhana, keadilan adalah relasi antar manusia yang ditandai dengan pemenuhan hak dan kewajiban secara timbal balik, sebuah prinsip dasar yang diterima oleh hampir semua budaya.

 

Keadilan: Dimensi Spiritual dalam Perjanjian Lama

Pemahaman mengenai keadilan perlu diperdalam dengan merujuk pada tradisi Perjanjian Lama, yang memberikan dimensi spiritual yang mendalam. Terdapat dua kata penting yang esensial: Mishpat dan Tsedaqa. Mishpat (atau keadilan) merujuk pada pengambilan keputusan yang tepat dan benar (aspek legal-yudisial). Sementara itu, Shadaqah (atau kebenaran/kesalehan) berarti tindakan yang sesuai dengan ketetapan Tuhan, berfokus pada solidaritas sosial.

 

Dalam pandangan Israel kuno, kedua kata ini tidak dapat dipisahkan. Mishpat tanpa Tsedaqa akan menghasilkan hukum yang kering dan kaku, sedangkan Tsedaqa tanpa Mishpat akan menjadi kebaikan yang tidak terstruktur. Keadilan sejati adalah perpaduan keduanya.

 

Keadilan sejati dalam tradisi ini adalah perpaduan antara aspek legal dan formal (hukum yang adil) dan etis-spiritual (tindakan yang mencerminkan karakter Allah), di mana manusia merefleksikan kasih dan kepedulian Allah dalam tatanan sosial. Hal ini diwujudkan secara konkret melalui keberpihakan kepada mereka yang paling rentan atau orang miskin, janda, yatim piatu, dan orang asing.


Keadilan dalam Perspektif Filsafat Barat

Upaya memahami keadilan tidak cukup berhenti pada kerangka teologi semata, tetapi juga perlu ditempatkan dalam horizon filsafat Barat untuk melihat kesamaan dan perbedaannya. Aristoteles, misalnya, menguraikan empat bentuk keadilan yang kemudian menjadi landasan penting bagi banyak sistem hukum modern:

  • Keadilan Komutatif: Keadilan dalam pertukaran, di mana semua orang diperlakukan sama tanpa pandang bulu dalam transaksi atau perjanjian. Ini adalah prinsip dasar kesetaraan di depan hukum.

  • Keadilan Distributif: Keadilan yang berkaitan dengan distribusi sumber daya, penghargaan, atau hukuman. Prinsipnya adalah memberikan sesuatu sesuai dengan kontribusi atau jasa yang diberikan.

  • Keadilan Konvensional: Keadilan yang diatur berdasarkan undang-undang atau konsensus masyarakat. Keadilan jenis ini bersifat relatif dan dapat berubah seiring waktu sesuai dengan kesepakatan sosial.

  • Keadilan Restoratif: Keadilan restoratif adalah pendekatan yang berfokus pada perbaikan atau pemulihan kerugian yang disebabkan oleh suatu kesalahan. Berbeda dengan keadilan konvensional yang lebih berfokus pada hukuman bagi pelaku, keadilan restoratif menekankan pertanggungjawaban dan rekonsiliasi antara semua pihak yang terlibat: pelaku, korban, dan masyarakat.

 

John Rawls dengan teorinya tentang justice as fairness. Rawls berpendapat bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang disusun dari balik "selubung ketidaktahuan" (veil of ignorance), dimana para individu merancang aturan sosial tanpa mengetahui posisi mereka sendiri di dalamnya. Apakah mereka akan kaya atau miskin, sehat atau sakit, cerdas atau kurang beruntung. Menurut Rawls, dalam kondisi ini, mereka akan memilih prinsip yang memberikan ruang bagi kelompok yang paling rentan. Prinsip keadilan tidak boleh hanya menguntungkan mereka yang kuat atau mayoritas, melainkan juga harus memperhatikan yang lemah dan termarjinalkan.

 

Dimensi filosofis  penting karena sejak zaman klasik hingga modern, manusia terus mencari cara mendefinisikan keadilan yang ideal. Namun, konsep-konsep ini sering kali berhenti pada tataran normatif dan sulit diwujudkan sepenuhnya. Mereka cenderung berfokus pada rasionalitas dan aturan, sehingga mengabaikan dimensi empati dan kemurahan yang justru esensial untuk benar-benar mengatasi ketidakadilan.

 

Keadilan dalam Ajaran Yesus

Teori keadilan Rawls memiliki kesamaan dengan ajaran Yesus dengan pendekatan duniawi menjadi jelas. Mengutip perumpamaan pekerja kebun anggur (Matius 20:1–16) sebagai contoh utama. Kisah ini sangat menantang karena upah yang sama diberikan kepada semua pekerja, meskipun sebagian besar hanya bekerja sebentar.

 

Dari sudut pandang manusia, hal ini tampaknya sangat tidak adil. Pekerja yang bekerja sepanjang hari merasa diperlakukan tidak adil karena upah mereka disamakan dengan mereka yang hanya bekerja satu jam. Namun, Yesus justru menekankan bahwa keadilan Allah berbeda dengan logika meritokrasi duniawi yang transaksional. Logika meritokrasi mengatakan, "Kamu dibayar berdasarkan apa yang kamu hasilkan."


Perumpamaan ini menyingkapi bahwa keadilan Allah tidak hanya berbasis pada kontrak, melainkan juga kemurahan hati dan belas kasihan. Allah tidak hanya adil; Ia juga murah hati. Keadilan Ilahi adalah tentang memberi kesempatan yang sama kepada semua orang, termasuk mereka yang "datang terlambat" atau dianggap kurang produktif. Yesus mengajarkan bahwa keadilan sejati bersifat rasional, berakar pada kasih dan kemurahan. Ia tidak hanya tentang membayar utang, tetapi tentang menciptakan sebuah tatanan di mana setiap orang memiliki tempat dan kesempatan.

 

Keadilan Kristiani: Sebuah Panggilan Praktis

Muncul pertanyaan penting, apakah ajaran Yesus ini hanya utopia?  Jawabanya tidak. Sebaliknya, keadilan Kristiani adalah sebuah panggilan praksis yang dapat dan harus diwujudkan di dunia nyata.

  • Praksis Sosial yang Nyata: Keadilan Kristiani dapat diwujudkan melalui keberpihakan kepada mereka yang lemah. Salah satu contoh konkret berupa kebijakan affirmative action, yakni memberikan peluang istimewa kepada kelompok yang termarjinalkan demi terciptanya keseimbangan. Kebijakan ini, meskipun sering diperdebatkan, adalah upaya untuk memperbaiki ketidakadilan historis dengan memberikan kesempatan kepada mereka yang secara sistemik tertinggal. Ini sejalan dengan prinsip Yesus yang memberi kesempatan kepada semua, bukan hanya kepada mereka yang kuat dan produktif.

  • Etika Pengelolaan Uang: Berkaca dengan situasi dan isu saat ini, dimana uang sering kali menjadi alat perdamaian, hal ini menimbulkan pertanyaan. Apakah uang bisa menjadi alat perdamaian? Peran uang dalam mewujudkan keadilan bukan sebagai tujuan, melainkan sarana untuk menghadirkan kebaikan dan solidaritas sosial. Harta benda harus dikelola secara etis, tidak hanya untuk kepentingan pribadi tetapi juga untuk menolong mereka yang kekurangan. Ajaran Yesus tentang bahaya terikat pada kekayaan adalah pengingat bahwa kekuasaan ekonomi harus digunakan untuk membangun, bukan untuk menindas.

  • Jembatan antara Kasih dan Realitas: Keadilan Kristiani pada akhirnya adalah jembatan yang menghubungkan kasih Allah yang absolut dengan realitas dunia yang penuh keterbatasan. Melalui keadilan, kasih diterjemahkan menjadi tindakan konkret: mengelola sumber daya, kekuasaan, dan peluang dengan murah hati demi memberi ruang bagi setiap orang. Ini adalah cara kita menjadikan kasih Allah tampak dan nyata di tengah-tengah masyarakat.

 

Keadilan Kristus bukanlah gagasan utopis, melainkan sebuah panggilan praksis yang dapat dan harus diwujudkan. Refleksi ini menyatukan pemahaman teologis dengan tindakan nyata, menantang kita untuk mengubah cara pandang dan bertindak.

 

Mengubah Paradigma dan Menghidupi Keadilan

Keadilan Kristus menuntut perubahan paradigma yang radikal. Jika dunia menilai adil berdasarkan produktivitas dan meritokrasi, Kristus justru menilai adil berdasarkan kasih dan kemurahan hati. Ini merupakan tantangan langsung terhadap cara masyarakat modern yang kompetitif dan individualistis. Pergeseran pola pikir ini, dari "apa yang pantas saya dapatkan" menjadi "apa yang dibutuhkan sesama", adalah langkah pertama menuju masyarakat yang lebih adil.

 

Lebih dari sekadar konsep, keadilan Kristiani tidak dapat dilepaskan dari kemurahan hati. Dalam ajaran ini, kemurahan bukanlah tambahan atau pilihan, melainkan inti dari keadilan itu sendiri.

 

Tanpa kemurahan, keadilan hanya menjadi legalitas yang kaku dan dingin, yang gagal menghadirkan kehidupan dan belas kasihan. Keadilan sejati dan kemurahan hati harus berjalan beriringan, seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Pada akhirnya, keadilan Kristus bersifat praksis. Ini bukan teori di atas kertas, tetapi panggilan untuk bertindak nyata. Keadilan terwujud dalam tindakan konkret seperti membela yang miskin, membuka akses pendidikan bagi anak-anak kurang mampu, dan memberikan dukungan kepada kelompok minoritas yang terpinggirkan. Keadilan adalah tindakan, bukan sekadar kata-kata.

 

Panggilan untuk Gereja 

Sebagai tubuh Kristus, Gereja memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi saksi keadilan. Gereja tidak hanya dipanggil untuk mengkhotbahkannya, tetapi juga untuk menghadirkan dan mewujudkannya melalui pelayanan sosial, advokasi, dan solidaritas bagi yang tertindas. Gereja harus menjadi cerminan dari keadilan relasional yang diajarkan oleh Kristus.

 

Secara keseluruhan, keadilan Kristus mungkin terdengar utopis bagi logika duniawi, sesungguhnya itu adalah realitas yang dapat dan harus diwujudkan. Keadilan Ilahi bermula dari kemurahan hati Allah yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang. Oleh karena itu, umat Kristen dipanggil untuk menjembatani kasih Allah dengan realitas dunia melalui tindakan konkret yang memperhatikan mereka yang miskin, lemah, dan tersisih. Keadilan Kristus bukanlah impian kosong, melainkan sebuah panggilan untuk menghidupi kasih dalam tatanan sosial, mengubah dunia menjadi tempat yang lebih adil dan penuh belas kasihan.

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia