“tong kosong, nyaring bunyinya” adalah sebuah peribahasa yang menggambarkan tentang rendahnya kualitas seseorang dibanding raungan suaranya yang menggema. Terkadang, kalimat ini dilekatkan pada pribadi-pribadi yang terlalu sering menggemakan tentang dirinya, padahal kualitas dirinya tidak sebanding dengan apa yang ia gembar-gemborkan. Terdapat banyak faktor yang dapat melatar belakangi seseorang berperilaku ‘tong kosong, nyaring bunyinya’, misal butuh pengakuan, ingin mendapatkan perhatian, ingin dipandang tinggi oleh orang lain, kesombongan, dan lain sebagainya. Intinya, terjadi ketidakcocokan antara apa yang dikatakan dengan kenyataan yang sesungguhnya tentang kualitas diri atau sesuatu.
Paulus, di dalam bagian pembuka pasal 3 ini, juga memberikan penekanan tentang kualitas diri dan pelayanannya yang tidak perlu digembar-gemborkan. Pertama, ia tidak memerlukan pengakuan dari orang lain. Kedua, ia tidak menganggap pengakuan sebagai hal utama dari pelayanannya. Ketiga, pengakuan manusia bukanlah indikator kualitas pelayanan yang ia kerjakan. Keempat, kondisi jemaat merupakan bukti nyata tentang dampak kehadiran dirinya dan segala macam pengajaran yang ia bagikan kepada mereka. Inilah cara Paulus mengukuhkan keberadaannya sebagai pengajar di tengah jemaat Korintus, sekaligus menjadi cara ia menghadapi konflik yang terjadi di dalam jemaat tersebut.
Sahabat Alkitab, kita dapat memaknai respons yang diberikan Paulus ini sebagai sebuah teladan sikap hidup beriman yang tulus. Setiap karya pelayanan maupun pekerjaan yang kita lakukan, secara khusus di tengah lingkungan berjemaat dan bersosial, tidaklah untuk mendapatkan pengakuan yang tinggi atau pun dipandang ‘mulia’ oleh manusia. Memang, pengakuan merupakan salah satu bentuk kebutuhan yang dimiliki manuisa, namun itu tidak melulu menjadi yang utama dalam setiap laku hidup keseharian. Terdapat ruang-ruang kehidupan yang perlu diisi dengan kehadiran diri yang berorientasi pada dampak atau kualitas kehadiran, bukan pada persoalan, ‘seberapa besar saya diakui oleh orang lain?’. Secara khusus, sebagai umat TUHAN kita perlu menyadari bahwa kehidupan beriman perlu direalisasikan dalam ketulusan yang menghadirkan dampak, bukan sebagai sarana untuk mendapatkan pengakuan dari manusia lain.