Apabila kita membicarakan perihal selera, tentu setiap orang punya standarnya masing-masing. Misalnya, selera makanan tiap orang dalam sebuah keluarga pun dapat berbeda-beda. Itulah mengapa, terkadang pembahasan ‘mau makan apa’ dapat menjadi sebuah persoalan yang harus diselesaikan melalui perdebatan yang cukup sengit. Tidak ada yang dapat menentukan apakah selera seseorang itu rendah atau tinggi, baik atau buruk, sejauh ‘selera’ tersebut dikenakan pada persoalan kenikmatan yang dapat dialami oleh masing-masing individu. Ada orang yang lebih suka makan nasi dingin, tapi ada juga yang lebih suka makan nasi panas. Manakah selera yang lebih tinggi di antara keduanya? Tentu tidak ada yang dapat dipaksakan. Namun, manakah yang lebih sehat? Hal ini sudah berbeda cerita dan tidak lagi persoalan selera kenikmatan.
Di dalam perikop ini, Paulus pun menggunakan konsep yang serupa dengan persoalan ‘selera’ sebagai bagian dari pesannya kepada jemaat di Korintus. Secara spesifik, ia melekatkan dirinya ibarat ‘bau’ atau ‘aroma’ yang bisa direspons secara berbeda oleh orang lain. Ada orang yang menganggap ‘aroma’ pekerjaan Paulus sebagai sebuah wewangian yang dapat dinikmati, namun ada sebagian lain yang menganggapnya sebagai ‘aroma’ yang mematikan. Tentu saja, Paulus tidak sedang membicarakan aroma tubuhnya, melainkan membahas perihal karya pelayanannya sebagai pemberita firman Allah. Pekerjaan Paulus adalah wewangian bagi mereka yang menerima firman Allah tetapi menjadi ‘aroma’ busuk bagi mereka yang menolaknya. Apakah hal ini berarti firman Allah mendatangkan kematian, bukannya kehidupan? Justru, di sinilah letak persoalan utamanya. Bagi orang-orang yang menutup hati dan pikiran terhadap firman Allah, seluruh pengajaran firman adalah sebuah hal yang membelenggunya. Namun, pengajaran itulah yang justru menjadi tuntunan kehidupan bagi orang-orang yang menerimanya.
Sahabat Alkitab, pesan Paulus sebenarnya sudah tidak perlu dipertanyakan ulang. Sebagai umat TUHAN, tentu kita mengakui bahwa segala pengajaran firman merupakan tuntunan kehidupan yang perlu dinikmati. Inilah wewangian pengenalan akan Kristus yang perlu terus-menerus kita hirup yang dapat tetap menyegarkan jiwa dan semangat yang lesu. Persoalannya adalah apakah kita memiliki selera terhadap pengajaran firman tersebut? Bukankah sungguh disayangkan jikalau seorang umat yang mengaku percaya kepada TUHAN, justru kehilangan selera untuk menikmati aroma pengajaran firman dan enggan untuk menghirup aroma penganalan tersebut. Setiap orang memang berhak memiliki seleranya masing-masing, namun hanya ada satu bentuk selera yang dapat diterima dalam kehidupan beriman: selera terhadap pengajaran firman TUHAN dan pengenalan akan Kristus!