Kematian Saul dan anak-anaknya, termasuk Yonatan dalam pertempuran di pegunungan Gilboa telah sampai kepada Daud. Kabar itu tentu bukanlah sebuah perkara yang mudah untuk diterima olehnya. Itulah mengapa kita melihat Daud yang begitu terpukul sekaligus marah atas kabar tersebut. Segala kesedihan dan kemarahan pada diri Daud terjadi bukan hanya karena ia mendengar bahwa Yonatan, sahabatnya telah mati dalam pertempuan tetapi juga karena Saul, raja yang diurapi TUHAN telah dibunuh.
Secara pertimbangan sederhana, semestinya Daud merasa senang ketika Saul telah mati dalam peperangan karena ini berarti ia sudah tidak perlu melakukan pelarian tanpa arah. Daud semestinya hanya perlu sedih atas kematian sahabatnya, Yonatan. Namun, di dalam perikop ini kita justru melihat Daud merasa sangat terpukul atas kematian keduanya.
Pengalaman duka yang Daud dapatkan dari Saul selama bertahun-tahun lamanya ternyata tidak menyurutkan apalagi menghilangkan kasihnya kepada Saul. Daud telah membuktikan bahwa perkataannya selama ini, bahwa ia begitu mengasihi Saul dengan tulus dan tidak memiliki tendensi untuk merebut ataupun mencelakakan Saul adalah benar. Kesedihan besar yang Daud alami atas kematian Saul dan Daud menjadi indikator bahwa kasihnya bagi Saul dan Yonatan selalu ada hingga kematian memisahkan mereka.
Sahabat Alkitab, mempertahankan kasih adalah sebuah pekerjaan yang melelahkan dan memerlukan upaya yang konsisten. Kita tidak dapat mengatakan, “aku mengasihimu.” lalu membiarkannya begitu saja. Kalimat “Aku mengasihimu” perlu selalu dikerjakan yang tidak hanya sekedar diucapkan tetapi juga perlu selalu dirawat. Hal ini perlu kita lakukan, mulai dari hubungan suami-istri, anak-orang tua, saudara, sahabat, dan relasi bermasyarakat. Kasih tidak boleh berakhir dan tidak dapat dihalangi!