Pada saat manusia direndahkan, selalu muncul kemungkinan untuk memberikan respons dengan keangkuhan. Maksudnya, seseorang yang dipandang remeh mungkin saja ingin membalas tindakan tersebut dengan niatan untuk membalikan kondisi. Bisa saja ia berusaha untuk mempermalukan balik orang yang telah merendahkan dirinya. Bagi sebagian orang, tindakan semacam ini mungkin dianggap wajar. Namun, sebagai umat Tuhan kita tidak dapat dengan sembarang dan begitu saja membiarkan diri terhanyut oleh keangkuhan melawan kepongahan.
Syair pemazmur di dalam pasal ini tergolong unik dengan kemunculan aspek kerendahan hati. Pemazmur memosisikan bangsa Israel ibarat pelayan atau hamba di hadapan Tuhan pada saat memohonkan pertolongan. Ia telah dengan secara sengaja menggunakan situasi relasi tuan-hamba itu untuk menggambarkan suasana pada saat bangsa Israel meminta pertolongan agar Tuhan membebaskan mereka dari segala himpitan musuh. Padahal, sebagai bangsa yang hidup dalam ikatan perjanjian dengan Tuhan sudah tentu mereka akan terus berada dalam jaminan perlindungan-Nya. Meski demikian, syair ini telah menunjukkan betapa pentingnya mengandalkan Tuhan dalam kerendahan hati.
Jangan sampai kita menggunakan iman untuk membalas kesombongan dan kepongahan orang lain. Alih-alih memohon pertolongan Tuhan, kita justru menuntut Tuhan untuk mebalas perilaku orang lain yang telah semena-mena terhadap kita dengan cara-cara yang kita inginkan. Kita perlu begitu waspada terkait hal ini karena merasa dibela akan sangat mudah membuat kita seperti ‘di atas angin’. Terlebih lagi, sebagai umat yang dilindungi Tuhan kita tentu mengimani bahwa Tuhan tidak pernah berdiam membiarkan kita hanyut di tengah mara dan ditelan oleh ketidakadilan. Namun, hal ini tidak berarti kita berhak membalas semua perilaku yang penuh kesemena-menaan dengan kecongkakan iman. Oleh sebab itu, sebagai umat Tuhan kita perlu mengandalkan Tuhan dalam kerendahan hati agar sikap permohonan tidak berubah menjadi paksaan.