Pada ayat-ayat ini, kita diperhadapkan dengan cara pendampingan pastoral dari Paulus yang tetap mengedepankan kondisi spiritualitas dan mental jemaat. Alih-alih terus memberikan teguran yang keras dan bersifat satu arah, Paulus justru menampilkan dirinya sebagai pengajar yang memahami kondisi jemaatnya yang mulai goyah keimanannya kepada Kristus. Nampaknya, Paulus menyadari bahwa muncul semacam ketidakpercayaan diri pada setiap anggota jemaat di Galatia yang tidak berlatar agama Yahudi atas hak mendapatkan keselamatan. Tentu saja hal ini tidak dapat dipandang remeh, mengingat kenyataan banyak di antara mereka yang justru terpengaruh oleh para pengajar manipulatif yang telah membuat mereka meyakini hukum taurat sebagai cara untuk mendapatkan keselamatan. Oleh sebab itu, Paulus menggunakan penelusuran akar tradisi iman dalam latar belakang orang Yahudi sebagai landasan untuk menekankan intimnya janji Tuhan bagi Abraham yang juga berlaku bagi semua jemaat meski tidak memiliki latar belakang Yahudi. Paulus ingin menegaskan kepada jemaat bahwa iman kepada Kristus merupakan kaitan paling utama dengan rancangan damai-Nya, bukan melalui pengagungan relasi terhadap hukum taurat.
Sahabat Alkitab, pesan Paulus dalam perikop ini mungkin tidak dirasa terlalu relevan secara harfiah dengan kehidupan kita di masa sekarang. Namun, inti dari tulisan Paulus justru penting untuk kita renungkan secara mendalam untuk menggumuli nilai keselamatan yang idealnya berlaku untuk semua tanpa membangun batasan. Paulus telah mengingatkan jemaat di Galatia bahwa keselamatan dari Tuhan merupakan sesuatu yang sudah dijanjikan dan telah digenapi melalui Kristus, yang berlaku untuk semua di dalam hubungan iman. Tidak ada formalisme yang dibutuhkan untuk mendapatkan keselamatan, apalagi persyaratan yang sifatnya justru menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengalaminya. Sungguh disayangkan ketika seorang umat Tuhan justru menetapkan cara berjemaat atau beragama yang menghalangi keselamatan dari Tuhan untuk dialami oleh banyak pihak. Alih-alih berusaha menegaskan identitas, kita justru dapat membangun tembok penghalang bagi karya penyelamatan Kristus terhadap dunia.