Hak waris tidak jarang menjadi objek perebutan di antara anggota keluarga hingga dapat merusak hubungan para anggota di dalamnya. Berita-berita perihal perseteruan di antara kakak-beradik kandung untuk memperebutkan harta warisan tidaklah sulit untuk kita temui di ruang publik masa kini. Ketidakmampuan dan ketidakdewasaan anggota keluarga untuk menyikapi warisan pun menjadi pemicu yang seringkali menghancurkan hubungan saudara demi mendapatkan materi warisan tersebut. Persoalan warisan memang dapat hadir dalam suasana konflik yang jauh lebih rumit dari sekadar perebutan harta materi. Namun, kenyataan sosial semacam ini, meskipun menyedihkan, telah menunjukkan bahwa persoalan harta materi memang masih menjadi hal yang sangat penting bagi sebagian orang. Bahkan, mereka rela untuk menukar keharmonisan hubungan keluarga dengan harta materi.
Paulus pun menggunakan konsep warisan sebagai bagian dari hubungan antara umat dengan Tuhan. Ia tentu tidak sedang mengajar jemaat di Galatia menjadi materialistis untuk menuntut Tuhan memberikan harta materi kepada jemaat. Namun, dengan memosisikan umat Tuhan sebagai ahli waris, Paulus ingin menekankan kepada jemaat bahwa semestinya mereka menganggap penting relasi dan keselamatan yang telah diberikan oleh Tuhan. Kenyataan yang pada saat itu terjadi, yakni ketika mereka menukarkan iman kepada Kristus dengan perhambaan kepada hukum taurat, telah dianggap oleh Paulus seperti ahli waris yang menolak warisan. Artinya, mereka yang sebenarnya telah menerima keselamatan dengan beriman kepada Kristus justru telah menolak keselamatan tersebut pada saat mereka lebih memilih untuk hidup di bawah otoritas hukum taurat.
Sahabat Alkitab, tulisan Paulus ini dapat menjadi kesempatan untuk menilik secara jujur dan tulus di hadapan Tuhan yakni perihal sikap kita dalam menjaga iman kepada Kristus. Apakah kita masih sungguh-sungguh menjaga iman untuk terus bertumbuh atau justru sedang menyia-nyiakannya? Kita perlu berhati-hati agar tidak terjerembab ke dalam kondisi beriman yang semu atau ‘hidup segan, mati tak mau’. Setiap umat Tuhan juga perlu menyadari bahwa Tuhan telah menjadikan kita ahli waris untuk menikmati keselamatan yang selayaknya direspons secara bertanggung jawab, bukan dengan keserakahan maupun sikap ogah-ogahan.