Paulus, untuk kesekian kalinya, memberikan penekanan yang sangat lugas kepada jemaat di Galatia agar mawas diri terhadap disorientasi iman. Secara spesifik, Paulus mengingatkan jemaat bahwa banyak orang yang berusaha tampil sebagai pihak yang paling taat dalam hidup beriman di tengah mereka, justru memiliki orientasi iman yang tidak tertuju kepada Tuhan. Mereka yang membimbing pemahaman jemaat agar berpaut pada hukum Taurat, sesungguhnya tidaklah sedang mengarahkan iman jemaat kepada sebuah ketaatan yang benar di hadapan Tuhan melainkan membuat peluang agar mendapatkan posisi sentral di tengah komunitas tersebut. Dengan kata lain, praktik hidup beriman mereka sedang tertuju kepada kepuasan diri sendiri. Inilah sebuah jebakan narsisme beriman yang menjerat seorang umat yang menghambat pertumbuhan kualitas imannya.
Setiap umat Tuhan perlu sungguh-sungguh berhati-hati agar tidak terserap dalam kepalsuan beriman. Alih-alih setia dan taat, kepalsuan dalam beriman justru mewujud sebagai aksi kesombongan dan pemenuhan tujuan personal dibanding mengutamakan Tuhan. Kita dapat menggunakan tulisan Paulus pada ketiga ayat ini sebagai bahan evaluasi terhadap praktik hidup beriman yang sedang dijalani. Misalnya, kita dapat bertanya kepada diri sendiri: Apakah saya lebih sering melakukan praktik iman, seperti berdoa, bernyanyi, memberikan kesaksian, hanya demi dilihat orang? Apakah saya pernah berpikiran bahwa segala ketaatan menjalani praktik iman akan membuat saya lebih berkualitas dibanding orang lain yang saya anggap tidak melakukannya? Kemudian, apakah saya benar-benar memaknai setiap praktik iman yang saya lakukan?
Sahabat Alkitab, marilah kita bangun kualitas beriman yang tulus Ikhlas di hadapan Tuhan dan di tengah komunitas dimana Tuhan menempatkan kita. Biarlah ketaatan yang kita upayakan merupakan wujud dari kejujuran yang berorientasi hanya kepada Tuhan, bukan kepada diri sendiri. Jangan biarkan diri kita bermuara pada narsisme sebagai umat yang hanya menjalani kepalsuan dalam beriman.