Sahabat Alkitab, tulisan Paulus pada ayat 32 sesungguhnya merupakan kritikan yang sangat mendalam bagi perilaku orang-orang yang mengaku beriman, namun kehilangan ikatan rasa dan makna yang mengakar kuat dalam relasi dengan Allah itu sendiri. Mengacu pada kecenderungan orang-orang Israel pada saat itu, yang menurut penilaian Paulus, telah jatuh oleh batu sandungan akibat ketidakmampuan memaknai secara intim terhadap setiap praktik keagamaan seperti peraturan-peraturan maupun tulisan-tulisan dari para nabi. Ia menuliskan, “Mengapa tidak? Karena Israel mengejarnya bukan berdasarkan iman, tetapi seakan-akan berdasarkan perbuatan.” Oleh sebab itu, Paulus pun memberikan fokus yang cukup besar terkait hal ini karena ia menyadari dampak yang sangat buruk bagi pertumbuhan iman umat.
Berdasarkan kritikan tersebut, kita pun dapat mengambil sebuah nilai yang penting untuk kita maknai secara personal dan mendalam terkait status kita sebagai umat Allah, yakni beriman kepada Allah berarti memaknai setiap pengajaran dan praktik iman secara sungguh-sungguh serta tidak berhenti hanya pada proses pelaksanaannya. Persoalannya banyak umat yang mengaku beriman justru kehilangan kesadaran dan pemaknaan yang sangat intim dengan Allah, padahal mereka sering melakukan beragam aksi keagamaan seperti ritus-ritus rutin. Hal ini disebabkan oleh terhentinya upaya diri untuk menikmati setiap kegiatan tersebut dengan kerinduan yang begitu besar dalam menjalani relasi dengan Sang Tokoh Utama, Allah itu sendiri. Banyak orang justru hanya berfokus pada ‘ritus’ itu sendiri yang justru menjadi semacam ‘kewajiban’ yang bersifat paksaan. Padahal semua upaya iman yang kita lakukan, entah melalui ritus-ritus komunal-personal dalam ruang peribadahan maupun aksi iman dalam hidup keseharian, seyogianya menjadi komunikasi penuh makna yang kita haturkan ke hadapan Allah, bukannya sebagai aksi formalitas belaka.