Upaya iman yang kita lakukan bukanlah sebuah pemenuhan daftar belaka yang hanya berfokus pada kebanggan-kebanggan personal atas banyaknya kewajiab ‘beragama’ yang dapat kita lakukan. Justru, melalui setiap upaya iman yang dapat kita terapkan, entah di dalam ruang ibadah maupun dalam ruang hidup keseharian, merupakan langkah konkret untuk menghidupi relasi yang intim dengan Kristus. Paulus telah mengingatkan jemaat di kota Roma bahwa Hukum Taurat yang dimiliki oleh orang Yahudi merupakan cara untuk mengenal dan mengalami relasi yang intim dengan Allah dengan tujuan akhirnya adalah Kristus. Maksudnya, setiap pedoman pembentukan iman yang muncul dalam hukum Taurat tidaklah bermuara pada pemenuhan hukum belaka, melainkan berujung pada Kristus itu sendiri. Artinya, setiap upaya iman yang dilakukan oleh umat semestinya mampu membawa mereka untuk mengalami pengenalan dan keintiman relasi yang berkualitas bersama Kristus, Sang Juruselamat.
Sahabat Alkitab, pada saat ini kita pun diajak untuk merenungkan kualitas iman yang kita miliki. Langkah pertama yang dapat kita terapkan adalah dengan mencermati sejauh mana kita mampu mengkhayati setiap bentuk ritus yang kita lakukan dalam ruang-ruang ibadah. Kemudian, kita juga perlu menilik kedalaman makna sebagai umat beriman dari setiap sikap hidup yang kita bangun dalam keseharian, entah pada saat kita berelasi dengan sesame maupun pada saat kita memperlakukan ciptaan lainnya. Ketiga, kita juga perlu menjawab secara jujur, kepada diri sendiri dihadapan Tuhan, apakah kita sungguh-sungguh mengalami keintiman relasi dengan Kristus? Apakah setiap ibadah yang kita lakukan telah kita nikmati dalam kerinduan dan kemelekatan rasa yang kuat bersama Kristus? Apakah setiap firman yang kita baca dan dengarkan telah kita cermati dalam kerendahan serta kesediaan diri untuk dibimbing oleh-Nya? Kita perlu kritis dalam menjalani praktik beriman agar tidak terjebak pada tindakan minim makna yang tak berdampak terhadap pertumbuhan relasi dengan Kristus.