Sekali lagi, Paulus menegaskan pentingnya rasa, makna dan ikatan relasi dalam setiap aksi iman yang dilakukan sebagai umat TUHAN. Paulus mengkritik kondisi jemaat di Kolose, seperti yang juga terjadi pada jemaat di beberapa kota lainnya, yang meskipun sudah percaya kepada Kristus namun justru menitikberatkan pertumbuhan imannya pada formalitas ritus. Kita pun perlu memahami bahwa Paulus tidak menolak ritus secara mendasar, melainkan mengkritik para umat yang justru menitikberatkan kualitas iman mereka pada tindakan tersebut, bukan kepada relasi dengan Kristus itu sendiri. Itulah mengapa, Paulus memberikan pernyataan yang sangat keras yang menganggap setiap orang yang berperilaku demikian adalah sebuah kecenderungan kesia-siaan.
Sahabat Alkitab, tulisan Paulus ini kembali mengajak kita untuk menilik kedalaman hati dan rasa yang muncul pada setiap kali kita melakukan beragam aksi iman, entah yang bersifat rutin, dilakukan komunal maupun personal. Kita perlu memiliki daya kritis atas diri sendiri terkait hal ini agar tidak terjebak pada rutinitas belaka. Pasalnya, tidak jarang sebuah tindakan iman yang dilakukan terus-menerus justru dapat berubah menjadi tindakan formalitas. Aksi iman yang semestinya meluapkan berjuta rasa dan dihasilkan dari kesadaran iman yang kompleks, justru berubah menjadi kegiatan yang banal rasa dan tanpa cita. Itulah mengapa setiap umat TUHAN perlu memaknai secara dinamis prinsip, ‘mati bersama Kristus dan hidup untuk Kristus’, seperti yang Paulus sampaikan bahwa, “Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia, mengapa kamu menaklukkan dirimu pada berbagai peraturan, seolah-olah kamu masih hidup di dunia? … Walaupun tampaknya penuh hikmat…peraturan-peraturan ini tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi.”
Ingatlah bahwa pernyataan ini bukan justru menganjurkan umat TUHAN untuk meninggalkan segala bentuk ritus keagamaan maupun pedoman hidup yang menjadi pembentuk kehidupan, apalagi menjadi pembangkang terhadap setiap peraturan atau larangan yang berlaku dalam sistem hidup bersama. Namun, pernyataan ini merupakan sarana untuk melakukan otokritik agar tidak bermuara pada bentuk hidup formalitas nan kosong sebagai umat TUHAN dalam beragam kebiasaan aksi imannya.