Sungguh menyakitkan memang ketika seseorang yang memiliki hati dan kerinduan yang begitu besar untuk melayani di sebuah daerah atau tempat tertentu dimana ia telah lama hidup di dalamnya, justru ditolak oleh banyak orang di tempat tersebut. Apalagi ketika penolakan itu muncul bukan karena penilaian mereka secara objektif terhadap kualitas dan dampak dari pribadi yang bersangkutan, melainkan akibat penilaian terhadap latar belakang keluarga dari si pribadi yang bersangkutan. Hal inilah yang dialami oleh Yesus Kristus, meskipun respons-Nya yang tercatat dalam injil Markus adalah ‘keheranan’, bukannya sebuah kesedihan. Meski demikian, penolakan yang semacam ini juga tidak hanya terjadi pada diri Yesus Kristus, melainkan juga masih kerap muncul hingga masa kini. Masih ada orang yang tertolak hanya karena orang banyak, yang merasa sudah mengenal latar belakangnya maupun keluarganya, menganggap ia tidak layak untuk mengemban tugas pelayanan tersebut.
Penolakan yang Yesus Kristus alami pun sebenarnya tidak mendatangkan kerugian pada Yesus Kristus, melainkan justru menjadi penghalang bagi orang-orang di Nazaret untuk mengalami dampak pelayanan Yesus. Padahal, seperti yang kita ketahui dari narasi keempat injil, banyak orang yang justru berbondong-bondong mengikuti Yesus untuk menikmati karya pelayanan dari Yesus Kristus. Terlepas dari alasan dan tujuan orang-orang dalam mengikut Yesus, entah tulus maupun bulus, namun secara umum mereka memiliki ketertarikan untuk menerima pelayanan Yesus. Namun, orang-orang Nazaret justru memilih untuk menolak Yesus karena anggapan bahwa sosok-Nya dan latar belakang keluarga-Nya tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.
Kita pun perlu berhati-hati agar tidak memiliki cara pandang yang bias dalam menjalani hidup melayani, termasuk dalam menyikapi kehadiran orang-orang yang memberikan tenaga dan waktunya dalam pelayanan. Ada kalanya kita justru lebih mementingkan latar belakang maupun masa lalunya, tanpa mengenal dirinya secara lebih utuh.