Kita mungkin sudah tidak asing dengan ungkapan, “rajin pangkal pandai, malas pangkal bodoh, hemat pangkal kaya”. Namun, pada kenyataannya ternyata tidaklah sesederhana demikian. Persoalannya adalah tidak sedikit orang yang justru bersifat semakin egosentris sehingga alih-alih berhemat, mereka justru cenderung pelit. Mereka menyangka dengan menjadi pelit dapat mengantarkan mereka kepada kelimpahan materiel. Ada pula yang memanipulasi kata ‘rajin’ ke dalam sikap rakus. Mereka seolah rajin untuk mengumpulkan uang padahal dilakukan dalam cara-cara yang justru melukai banyak perasaan dan hukum yang berlaku. Itulah sebabnya, menjadi rajin dan berhemat tetap memerlukan kepekaan rasa dalam menyadari perannya sebagai manusia yang hadir untuk sesama.
Di dalam pemahaman hidup beriman, kita tentu sudah akrab dengan ajaran bahwa setiap umat TUHAN diutus juga untuk menjadi saluran berkat dan kasih-Nya bagi dunia dimana mereka hidup. Pesan ini pula yang muncul dalam teks bacaan Amsal pada hari ini. Bahkan, penyair Amsal dengan berani menyimpulkan bahwa menahan banyak harta tidak menjamin hidup berkelimpahan dan banyak memberi harta juga tidak pasti membawa kemelaratan. Kata kuncinya bukanlah pada ‘menghemat’ atau ‘memberi’, ‘menahan’ atau ‘melepas’, melainkan pada esensi menjadi berkat bagi sesama. Pada ayat 25 dituliskan bahwa, “Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum.” Hal ini membawa dampak yang sangat besar pada hidup seseorang dalam mengelola harta dan menjalani hidupnya sebagai manusia.
Pesan dalam teks Amsal ini perlu kita renungkan di setiap saat kita menimbang keputusan dalam menggunakan segala harta atau uang yang kita miliki. Apakah semua hal yang kita punya itu sudah cukup kita optimalkan untuk menjadi berkat bagi sesama atau masih kita pusatkan kepada intensi diri sendiri?