Saul telah termakan oleh dorongan egonya yang lebih besar daripada menuruti kehendak Tuhan. Segala keberhasilan dan prestasi yang berhasil ia toreh selama menjabat sebagai raja ternyata telah menggiring dirinya menjadi angkuh, tidak hanya di hadapan orang Israel melainkan juga di hadapan Tuhan. Kemenangan besar dalam peperangan melawan orang Amalek tidak disadari oleh Saul sebagai anugerah dan karya penyelamatan Tuhan, melainkan dinikmatinya untuk kepuasan diri sendiri. Alhasil, ia tidak menuruti perintah Tuhan untuk melenyapkan seluruh orang Amalek, melainkan memilah barang-barang dan orang-orang yang ia pandang berguna dan layak untuk dipertahankan.
Proses pemilahan ini saja sudah menunjukkan bahwa Saul menggunakan cara pandang dan penilaian yang berbeda dari apa yang Tuhan kehendaki. Kemudian, tidak berhenti sampai di situ, Saul juga semakin haus akan kepuasan ego dan narsisme yang mewujud pada keputusannya untuk membuat tugu peringatan bagi dirinya sendiri, bukan tugu untuk mengingat karya Tuhan dalam peristiwa tersebut. Posisi Tuhan telah tergeser, tidak lagi menjadi prioritas dan poros hidup Saul dalam menjalankan perannya sebagai raja bagi bangsa Israel. Oleh Sebab itu, Tuhan memberikan pesan melalui nabi Samuel atas penolakan terhadap Saul. Artinya, Tuhan sudah tidak lagi menghendaki untuk berkarya atas bangsa Israel melalui Saul sebagai raja bagi mereka.
Sahabat Alkitab, situasi hidup yang terjadi pada Saul di dalam perikop ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing atau sesuatu yang mustahil untuk juga dialami oleh umat Tuhan. Justru, kita perlu berhati-hati dan cermat dalam menjalani hidup beriman karena hal semacam ini sangatlah mudah untuk terjadi pada diri kita. Terdapat cukup banyak hal, situasi, rancangan, target, dan masalah dalam hidup yang dapat menggeser posisi Tuhan menjadi bukan poros hidup umat-Nya. Kita tidak boleh asal menampik hal ini yang justru dapat berujung pada sikap naif. Oleh sebab itu, kita perlu menjadi lebih cermat dan berani mengkritisi kondisi iman diri sendiri agar selalu menyadari orientasi dan sikap iman kita di hadapan Tuhan, bukan justru terlalu asik mengoreksi hidup beriman orang lain yang kita anggap tidak sebaik kita. Jangan sampai posisi Tuhan juga tergeser dari hidup kita dan kita tidak menyadari hal itu.