Kondisi hati akan sangat memengaruhi hidup seorang manusia dalam menghadapi realitas kesehariannya, termasuk pada caranya berelasi dengan manusia lain yang ada di sekitarnya. Hati yang ‘panas’ oleh amarah maupun benci cenderung membuat seseorang merespon berbagai hal di sekitarnya secara sinis maupun minim kepercayaan. Sedangkan hati yang tenteram cenderung memampukan seseorang menanggapi berbagai hal dengan lebih tenang, meskipun kenyataan hidupnya sedang menunjukkan sebuah kondisi penuh permasalahan. Itulah mengapa, seorang manusia perlu memiliki kemampuan dalam mengenal dan mengolah kondisi hatinya agar tidak terjebak pada cara hidup yang berujung penyesalan di masa mendatang.
Wejangan untuk mengolah hati juga muncul dalam tulisan Amsal pada teks bacaan hari ini. Bagi penyair Amsal, hati yang tenang dan kemampuan seseorang dalam mengendalikan perasaan maupun antusiasmenya sangat berperan untuk menghantarkan seseorang pada tindakan-tindakan bijak yang minim kesalahan. Sedangkan sebuah tindakan yang dilandasi perasaan yang terlalu menggebu justru cenderung mendatangkan penyesalan bagi pribadi yang bersangkutan. Bahkan, secara lebih mendalam penyair menghubungkan tindakan dari hati yang tertata dan dikendalikan secara sehat merupakan ‘media’ bagi terciptanya sikap hidup yang mempermuliakan Tuhan. Artinya, kemampuan seseorang mengendalikan kondisi hatinya dalam menjalani hidup merupakan bagian dari cara ia memuliakan Tuhan melalui sikap kesehariannya.
Sahabat Alkitab, kita sudah diajak untuk menyadari bahwa kondisi hati yang tidak terkendali dengan tepat dan baik dapat membawa kita melakukan tindakan-tindakan yang justru berujung penyesalan. Bahkan, kita mungkin saja melakukan hal-hal yang justru menyakiti Tuhan, entah sadar maupun tidak sadar. Oleh sebab itu, wejangan dari syair Amsal ini hendaknya mendapatkan perhatian yang besar dan dimaknai secara mendalam oleh setiap umat Tuhan demi meningkatkan kebijaksanaannya menentukan sikap hidup kesehariannya.