Di tengah budaya kompetitif yang begitu masif, manusia cenderung mudah terpaut pada hasil, posisi dan status. Seseorang yang mendapatkan hasil superior di tengah lingkungan kompetisi pun cenderung menganggap bahwa itu semua adalah hasil dari segala kerja keras perjuangannya sendiri. Alhasil, tanpa adanya pengendalian diri yang baik, ia sangat mudah berubah menjadi congkak. Hal yang semakin parah lagi adalah ketika ia membawa cara pandang yang demikian ke dalam lingkungan hidup berimannya sebagai umat Tuhan. Singkatnya, sungguh memilukan ketika seorang umat Tuhan menganggap bahwa kualitas keimanannya merupakan hasil dari perjuangannya sendiri. Padahal, di dalam perikop bacaan hari ini kita justru mendapati firman Tuhan yang menunjukkan konsep yang sebaliknya.
Tuhan memberikan nubuat mengenai situasi dan kondisi hidup bangsa Israel yang akan dikumpulkan ulang dari seluruh wilayah pembuangan. Mereka yang sebelumnya hidup dalam ketakutan, kecemasan, ketidakpastian dan keputusasaan pun akan segera hidup dalam ketentraman yang bersumber dari Tuhan. Sang Pembentuk dan Pemelihara kehidupan telah memberikan kepastian atas transformasi hidup mereka. Tidak berhenti sampai di situ, hal yang paling penting adalah mereka akan mengalami transformasi spiritualitas yang vital sebagai umat Tuhan. Ia akan memberikan hati yang baru, ikatan perjanjian yang segar dan kemampuan komitmen iman yang teguh kepada umat-Nya. Itu semua bukanlah hasil dari upaya sepihak dari bangsa Israel melainkan anugerah dari Tuhan.
Sahabat Alkitab, permenungan ini menunjukkan bahwa iman kepada Tuhan merupakan anugerah yang telah ditujukan bagi kita sebagai umat-Nya. Itu bukanlah hasil upaya kita, melainkan bentuk nyata kerja Tuhan. Oleh sebab itu, sudah selayaknyalah bagi kita untuk menjaga dan memelihara iman kepada Tuhan sebagai unsur penting dalam hidup. Selain itu, kita juga perlu terus mengingat bahwa setiap pertumbuhan iman yang kita alami bukanlah hasil dari perjuangan kita sepihak, melainkan sebawai wujud anugerah kasih Tuhan dalam memelihara umat-Nya. Artinya, tidaklah relevan dan bertanggung-jawab ketika ada seorang umat Tuhan yang berlaku congkak di atas kondisi keimanannya, apalagi untuk menghakimi keimanan orang lain yang ia anggap lebih inferior darinya.