Iman adalah inti kehidupan orang percaya, menjadi dasar untuk memahami dan menjalankan kehendak Allah. Dalam Alkitab, kehidupan Ishak, Yakub, dan Yusuf memberikan pelajaran penting tentang bagaimana iman dapat bertahan bahkan dalam kelemahan manusia, hingga akhir hidup mereka.
Kisah Ishak menunjukkan bahwa dalam beriman adakalanya kita mengalami kesulitan untuk memahami kehendak Allah dan memilih untuk melakukan yang menurut pandangan kita secara pribadi adalah yang terbaik. Keinginan Ishak untuk memberkati Esau berdasarkan budaya saat itu yang lebih mengistimewakan anak sulung. Selain itu juga dalam keseharian Ishak menunjukkan bahwa ia lebih menyukai Esau, mungkin karena sifatnya yang pemberani dan relasi diantara mereka yang cukup dekat. Namun, kehendak Allah adalah memilih Yakub, bukan Esau, sebagai pewaris janji. Menerima janji berkat memberikan tantangan tersendiri bagi Yakub. Ia menjalani hidup yang penuh lika-liku, tetapi di akhir hidupnya, Yakub menunjukkan transformasi iman yang luar biasa. Sebelum meninggal, Ia memberkati anak-anak Yusuf dan menyembah Allah sambil bersandar pada tongkatnya. Tongkat yang mengingatkan Yakub akan peristiwa di Peniel, di mana Allah membuatnya pincang setelah pergulatan mereka (Kejadian 32:24-32). Kondisi pincang tersebut menjadi simbol ketergantungannya pada Allah, dan tongkat yang ia pegang menunjukkan bahwa sepanjang hidupnya, Allah telah menopangnya. Yakub mengakui kebesaran Allah yang memegang masa depan dirinya dan keturunannya, dan ia menyembah sebagai wujud imannya. Melalui kisah Yakub, kita diingatkan bahwa iman sejati melibatkan pengakuan akan kelemahan manusia dan ketergantungan penuh pada Allah.
Yusuf adalah contoh iman yang melampaui hidupnya sendiri. Di akhir hidupnya, ia menyatakan keyakinannya bahwa Allah akan membawa bangsa Israel keluar dari Mesir ke Tanah Perjanjian. Dalam Kejadian 50:24, ia berkata, “Allah pasti akan memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri ini, ke negeri yang telah dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub.” Sebagai bukti imannya, Yusuf memberi instruksi agar tulang-tulangnya tidak dikuburkan di Mesir tetapi dibawa ke Kanaan. Peti jenazah Yusuf menjadi saksi bisu selama 400 tahun, mengingatkan bangsa Israel bahwa janji Allah akan digenapi. Bahkan setelah kematiannya, iman Yusuf tetap berbicara kepada generasi berikutnya. Dari Yusuf, kita belajar bahwa iman sejati adalah keyakinan pada janji Allah, bahkan ketika penggenapannya belum terlihat.
Sahabat Alkitab, melalui kesaksian iman Ishak, Yakub, dan Yusuf mengajarkan kepada kita bahwa iman sejati tidak selalu sempurna, tetapi memiliki kemampuan untuk bertahan dan berkembang. Ishak mengajarkan pentingnya menyerah pada kehendak Allah. Yakub menunjukkan bahwa iman adalah ketergantungan total pada Allah. Yusuf mencontohkan keyakinan yang melampaui hidup ini, percaya bahwa janji Allah pasti digenapi. Kisah mereka mengingatkan kita bahwa Allah selalu setia pada rencana-Nya, meskipun kita sering kali lemah dan tidak sempurna. Dalam kehidupan kita, marilah kita meneladani iman mereka: menyerah pada kehendak Allah, bergantung sepenuhnya pada-Nya, dan mempercayai janji-Nya yang pasti akan digenapi. Sebagaimana Paulus juga pernah bersaksi bahwa justru dalam kelemahan dan kerapuhan sebagai manusia, kita dapat semakin merasakan kasih sayang serta penyertaan Allah.
Kehidupan bersama dengan Tuhan adalah sebuah dinamika yang menyertai perjalanan kehidupan kita. Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah yang kita sembah merupakan Allah yang hidup