Kita dikelilingi oleh budaya konsumtif yang terus-menerus menanamkan pesan bahwa kita membutuhkan ‘lebih banyak’: lebih banyak harta, lebih banyak pengakuan, lebih banyak kepuasan instan. Namun, realitanya, sering kali setelah mendapatkan semua itu, hati kita tetap merasa kosong. Fenomena ‘lapar yang tak pernah kenyang’ ini bukan hal baru. Mazmur 78 menyingkapkan bahwa ribuan tahun lalu, umat Israel juga bergumul dengan hal serupa. Mereka tidak puas dengan manna, roti dari langit yang ajaib, lalu menuntut daging.
Mazmur 78:23–37 merekam peristiwa ini dengan ironi tajam. Setelah mencatat murka Allah (ayat 21–22), kita menduga hukuman keras akan segera menimpa Israel. Namun yang terjadi justru mengejutkan: Allah menurunkan daging berlimpah melalui burung puyuh seperti debu banyaknya. Allah memberi apa yang mereka minta, tetapi jawaban itu ternyata menjadi teguran. Mereka makan dengan lahap, tetapi saat daging masih di mulut mereka, murka Allah datang (ayat 30–31). Peristiwa ini mengingatkan kita pada Bilangan 11:33, ketika keinginan yang berlebihan justru membawa wabah. Inilah paradoks iman, apa yang kita inginkan tidak selalu yang kita butuhkan.
Asaf menyoroti betapa rapuhnya iman Israel. Meski telah merasakan karya besar Allah, mereka tetap tidak percaya. Bahkan ketika dihukum, mereka mencari Allah hanya karena takut, bukan karena kesadaran dan ketaatan. Mereka memuji dengan mulut, tetapi hati mereka tetap jauh. Iman mereka seperti besi yang lentur saat dibakar, tapi segera mengeras kembali ketika api padam.
Sahabat Alkitab, mazmur hari ini mengingatkan kita bahwa keserakahan tidak pernah membawa pada kepuasan sejati. Bahkan, Allah dapat saja mengizinkan kita mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan sebagai berkat, melainkan sebagai cermin untuk memperlihatkan betapa kosongnya keinginan yang lahir dari hawa nafsu. Maka dari itu, di tengah dunia yang terus mendorong kita mengejar segala sesuatu secara berlebihan, kita diajak untuk kembali belajar tentang arti cukup di dalam Allah. Kepuasan sejati tidak ditentukan oleh berapa banyak hasrat yang terpenuhi, melainkan oleh hati yang mampu bersyukur dan percaya bahwa apa yang Allah sediakan selalu mencukupi. Maka, pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah, apakah hidup kita sedang diarahkan untuk mengejar pemenuhan keinginan yang fana, ataukah kita sedang belajar menemukan damai sejati dalam pemeliharaan Allah?