Dalam dunia modern yang sarat dengan krisis kepercayaan, kesetiaan menjadi nilai yang kian rapuh dan sering dipandang usang. Berita tentang janji politik yang diingkari atau ikatan personal yang retak karena pengkhianatan, menjadi pemandangan sehari-hari. Kesetiaan tampak seperti barang langka yang kalah oleh pragmatisme kepentingan sesaat. Namun di tengah kerapuhan ini, Mazmur 78 menjadi refleksi, bahwa manusia sering gagal memegang janji, tetapi Allah tetap teguh pada perjanjian-Nya. Kesetiaan Allah bukanlah ide abstrak, melainkan realitas historis yang dialami umat Israel sepanjang perjalanan mereka, mulai dari Mesir, padang gurun, hingga tanah perjanjian.
Asaf menyingkapkan pola yang terus berulang, yaitu umat memberontak, melupakan kuasa Allah, bahkan “mencobai Allah” (ayat 41). Ketidaksetiaan ini bukan sekadar kelemahan moral, melainkan krisis ingatan iman. Ketika umat melupakan karya Allah, mereka tergelincir ke dalam pemberontakan; ketika mereka mengingat, arah hidup mereka dipulihkan. Ingatan iman menjadi kunci untuk memahami bahwa kesetiaan bukan hanya tindakan, tetapi juga kesadaran yang terjaga. Seperti yang pernah disinggung oleh seorang filsuf dari Prancis, Paul Ricoeur, bahwa “identitas terbentuk melalui ingatan,” demikian pula kesetiaan umat hanya bertahan sejauh mereka mengingat kasih Allah yang lebih dulu setia.
Ayat 43–55 kemudian menyoroti karya Allah melalui tulah-tulah di Mesir. Menarik bahwa daftar tulah di sini tidak identik dengan Kitab Keluaran, sebab yang ditekankan bukan kronologi sejarah, melainkan pesan teologis: Allah berdaulat atas ciptaan dan dewa-dewa Mesir tak berdaya di hadapan-Nya. Sungai yang berubah, belalang yang memusnahkan panen, kegelapan yang meliputi negeri, hingga kematian anak sulung. Semua ini menjadi tanda bahwa karya pembebasan bersumber dari Allah yang setia pada perjanjian-Nya. Kesetiaan ini tidak pernah bersyarat pada ketaatan umat, melainkan berakar pada kasih dan komitmen Allah sendiri. Di sini kita belajar bahwa kesetiaan ilahi adalah fondasi yang meneguhkan keberlangsungan sejarah keselamatan.
Sahabat Alkitab, pada akhir bagian ini kita mendapati gambaran indah tentang Allah sebagai Gembala yang menggiring Israel “seperti domba-domba” (ayat 52), melindungi mereka dari musuh, menyeberangkan mereka melewati laut, dan membawa mereka masuk ke tanah perjanjian. Inilah bukti dari kesetiaan yang diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar kata. Maka, dalam hidup kita yang sering kali mudah digoyahkan, kita diajak meneladani kesetiaan Allah itu. Setia pada relasi meski dunia mengajarkan oportunisme; teguh dalam integritas meski kompromi tampak lebih mudah; dan berakar dalam iman meski godaan melupakan Allah begitu kuat. Dengan mengingat dan menghidupi kesetiaan Allah, kita dimampukan untuk menjadi saksi dari perjanjian yang terus hidup di tengah dunia ini.