Sungguh disayangkan jika seorang pengikut Kristus melakukan ‘pengkotakan’ atau pembedaan dengan orang lain hanya karena ia memegang status sebagai ‘pengikut Kristus’. Seolah-olah status tersebut sudah cukup menjadi indikator dan esensi dari menjadi pengikut Kristus itu sendiri. Alhasil, tidak mengherankan jika banyak orang yang melakukan pembedaan yang hanya berorientasi pada hal-hal yang sifatnya status dan tidak lagi memperhatikan hal yang jauh lebih esensial seperti kualitas iman dan hidup kesehariannya. Tentu saja, hal ini pun tidak berarti menggiring kita untuk menjadi besar kepala hanya karena merasa punya kualitas iman yang baik, melainkan justru semakin membuat sadar diri dan rendah hati seiring dengan pertumbuhan iman yang berkualitas sebagai pengikut Kristus.
Melalui perkataannya yang tertera pada ayat 5-11 ini Paulus sedang mengajarkan kepada jemaat bahwa klasifikasi yang berlaku sebagai umat TUHAN bukanlah berkutat pada persoalan identitas mereka secara kultural maupun keturunan, melainkan kepada kualitas hidup yang mereka bangun sebagai pengikut Kristus itu sendiri. Pertanyaan paling mendasar yang perlu untuk dimaknai, tidak hanya bagi jemaat di Kolose melainkan juga bagi setiap umat di berbagai zaman, adalah apakah kita mampu meninggalkan segala laku hidup yang tidak sesuai dengan esensi sebagai pengikut Kristus atau justru masih membiarkan diri menjalani hidup sembari memegang erat seluruh kebiasaan buruk yang tidak selaras dengan nilai-nilai injil Kristus? Tentu saja hal ini bukanlah perkara mudah, namun sangat esensial dan genting untuk diwujudkan oleh seluruh umat TUHAN. Kita dapat merespons firman TUHAN ini dengan bertanya kepada diri sendiri, misalnya: Apakah saya sudah mampu meninggalkan satu-dua kebiasaan buruk yang masih saya lakukan hingga saat ini? Apabila kita masih belum sanggup melakukannya, maka kira-kira apakah penghalang terbesar untuk meninggalkannya? Apakah saat ini kita masih terlalu berat untuk melepaskannya atau sudah siap untuk menanggung beratnya meninggalkan kenikmatan dari hal tersebut demi memperjuangkan kualitas relasi bersama Kristus?