Keserakahan telah lama menjadi wabah yang merongrong kelestarian dunia. Sebuah pepatah bijak pernah mengatakan bahwa sesungguhnya bumi ini cukup untuk kebutuhan semua manusia, tetapi tidak pernah cukup untuk keserakahan manusia. Lantas, bagaimanakah kita dapat memperbaiki kondisi tersebut? Salah satu yang paling dapat kita lakukan adalah mengubah cara pandang mengenai harta, kekayaan, serta kepemilikan. Keserakahan seringkali ditenagai oleh pola pikir manusia yang memusatkan dirinya pada hal-hal material sebagai satu-satunya tujuan hidup. Seolah-olah hati ini hanya mengarah kepada hal tersebut tanpa ada yang lain. Maka patutlah kita memulai perenungan saat ini dengan bertanya, “dimanakah hatiku berada?”
Pertanyaan reflektif tersebut berdasarkan dari pernyataan Yesus terhadap gejala ketamakan dan keterpusatan seseorang pada harta serta kekayaan. Ia berkata, “dimana hatimu berada, disitu juga hatimu berada.” Satu hal yang perlu kita sadari bahwa perikop kita kali ini bukan bermaksud menggambarkan Yesus yang anti terhadap kekayaan, tetapi yang diajarkan-Nya adalah cara pandang yang berlebihan terhadap harta kekayaan. Ketika Ia berkata “janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi” maksudnya adalah keterpusatan hidup yang berlebihan pada harta kekayaan. Ngengat yang akan merusak atau pencuri yang akan membongkar serta merusak harta merujuk pada sebuah sikap mengumpulkan harta sebanyak-banyak bagi diri sendiri sebagai persediaan di masa mendatang secara berlebihan. Pada akhirnya banyak hal yang dapat merenggut harta tersebut. Itulah upah dari ketamakan.
Apakah itu berarti kita tidak boleh menabung, berinvestasi, dan bersiap untuk masa mendatang? Tentu saja boleh karena yang dibicarakan oleh Tuhan pada perikop ini adalah cara pandang yang tepat akan harta benda dan penatalayanan yang baik. Pada dasarnya segala sesuatu yang ada dalam semesta adalah milik Tuhan semata. Maka cara pandang dan pengelolaan akan harta berada dibawah kedaulatan Tuhan. Artinya memiliki cara pandang yang tepat akan harta serta mewujudkan penatalayanan yang baik atasnya merupakan sesuatu yang sangat rohani. Tuhan kemudian melanjutkan pengajaran-Nya dengan menantang para murid untuk memilih tuan mereka. Kata “tuan” merefleksikan sosok yang berkuasa dan ditaati dengan mutlak oleh seseorang. Bagaikan seorang hamba yang penuh totalitas mengabdi pada satu tuan. Pilihannya adalah mengabdi sepenuhnya kepada Tuhan dan ikut seluruh ketetapan-Nya termasuk dalam memandang harta kekayaan, atau ikut Mamon (dewa uang simbol kekayaan dan ketamakan). Pilihan pertama mengarah kepada keabadian, sementara pilihan kedua berujung pada kebinasaan.
Harus kita sadari bahwa pada zaman ini tantangan untuk mengubah cara pandang kita pada harta kekayaan seturut cara pandang-Nya sangatlah sulit. Seringkali manusia hanya dinilai sebagai konsumen yang harus berbelanja sebanyak-banyaknya. Dengan bantuan kecerdasan buatan, media sosial menyarankan cara-cara hidup paling kekinian secara personal kepada masing-masing orang dengan segala kegemerlapannya. Kita didorong untuk terus membeli dan memiliki, tanpa sempat untuk bertanya apakah yang kita beli tersebut sungguh-sungguh kita butuhkan. Ia mendorong kita untuk terus membeli dan membeli, sehingga tanpa sadar menjadikan harta kekayaan sebagai satu-satunya tujuan hidup. Kiranya firman Tuhan kali ini berhasil mengembalikan kesadaran kita akan tujuan hidup yang sesungguhnya yakni memuliakan Tuhan dan menjadi Dia satu-satunya tujuan dalam hidup. Harta kekayaan bukanlah tujuan tetapi sarana untuk memuliakan-Nya. Dengan cara pandang itulah kita dimampukan untuk merasa “cukup” atas apa yang kita miliki dan terhindar dari keserakahan yang membinasakan.