Sejak awal manusia diciptakan sebagai mahluk sosial, hidup berpasang-pasangan, berdampingan dengan sesama untuk saling memperhatikan, mempedulikan dan merawat kehidupan anugerah Tuhan. Namun kesatuan hidup itu seringkali menjadi rusak karena keegoisan hati manusia. Tuhan menekankan hakekat kesatuan hidup antara laki-laki dan istrinya, yaitu bersatu menjadi satu daging. Mereka bukan lagi dua melainkan satu dan tidak boleh diceraikan manusia (10:7-9). Ketegaran hati umat Israel telah memaksa Musa mengeluarkan aturan tentang perceraian (10:5).
Lain lagi yang terjadi pada kisah orang kaya (10:17-27). Ia bersedia mengikuti peraturan Tuhan, ketika peraturan itu mudah diikuti dan memuaskan hatinya. Tetapi ketika aturan tersebut dirasa “merugikan” dirinya, maka ia memilih mundur dan mengabaikan tawaran beroleh harta di sorga (10:21). Sang kaya memilih pergi dan tidak mengikuti ajakan Yesus. Baginya, ketimbang harus menjual semua hartanya untuk dibagikan kepada orang miskin, Ia lebih memilih hidup terpisah/tercerai dari Kerajaan Allah dan sesamanya manusia. Hatinya telah melekat pada harta yang dimilikinya.
Bangsa Israel yang tegar hati dan orang kaya yang cinta kepada harta bendanya, mengajarkan kepada kita tentang hati manusia. Sikap hati yang tidak mau tunduk pada suara Tuhan, membuat manusia sukar masuk dalam Kerajaan Allah. Tuhan Yesus pun telah mengingatkan tentang hal ini ketika IA berkata “Dimana hartamu berada, di situ juga hatimu itu berada” (Matius 6:21).
Tuhan Yesus menjadikan anak kecil sebagai contoh dalam hal menyambut Kerajaan Allah (10:15). Ya, anak-anak memang memiliki hati yang tulus dalam memandang kehidupan serta kepatuhan terhadap otoritas yang lebih tinggi.
Di masa Advent ini, mari melihat ke dalam hati kita dan memeriksanya dengan teliti. Dimana hati kita berada?. Apakah masih melekat pada Tuhan,?, Apakah di dalamnya ada hati seorang anak yang penuh ketulusan dan kepatuhan terhadap Sang pemilik kehidupan?.
Salam Alkitab untuk semua.