Seringkali kita mengira bahwa duka, keresahan, bahkan ratapan kita adalah tanda kelemahan. Padahal hal tersebut justru menandakan kejujuran kita sebagai manusia. Ratapan yang direfleksikan dengan sungguh bisa saja menjadi penggerak untuk berkarya. Hal tersebut sering kali terjadi saat kita meratap di hadapan ketidakadilan dan penindasan yang seringkali kita saksikan. Kekuatan untuk bergerak dan berkarya bisa saja datang dari hati yang sungguh-sungguh tersayat melihat tangis orang lain karena ditindas oleh hal l-hal tertentu yang melampaui kuasa-Nya.
Kisah Ester 3:12–4:8 mengisahkan situasi krisis bagi bangsa Yahudi. Sebuah keputusan politik yang sarat kebencian dan ambisi pribadi mengancam keberadaan mereka. Dalam bagian ini, Haman berhasil mengeluarkan dekrit yang ditulis atas nama Raja Ahasyweros, memerintahkan pemusnahan seluruh orang Yahudi dalam satu hari (Ester 3:13). Ironisnya, setelah keputusan besar yang penuh kebencian ini diumumkan, raja dan Haman duduk untuk minum, sementara kota Susan dilanda kebingungan. Ini menunjukkan kontras yang tajam, para pemegang kekuasaan merayakan keputusan mereka, sementara rakyat banyak dipenuhi ketakutan. Ada kejahatan yang lahir dari ketidakpedulian dan ambisi pribadi. Haman, yang tersinggung oleh Mordekhai, menjadikan seluruh bangsa Yahudi sebagai target balas dendamnya.
Sementara itu, Mordekhai merespons dengan merobek pakaiannya, mengenakan kain kabung, dan duduk di tengah kota, menangis dengan nyaring. Tindakannya bukan hanya ungkapan duka pribadi tetapi seruan profetis terhadap ketidakadilan yang terjadi. Ia memilih untuk meratap di tempat umum, menolak untuk berdiam diri. Ratapan Mordekhai bukan sekadar ekspresi kesedihan, tetapi panggilan untuk bertindak. Di seluruh provinsi, umat Yahudi merespons dengan puasa, tangisan, dan perkabungan. Ada kesadaran kolektif bahwa ini bukan sekadar permasalahan individu, tetapi krisis yang harus dihadapi bersama. Ketika kabar ini sampai kepada Ester, awalnya ia merespons dengan mencoba “menutupi” penderitaan Mordekhai dengan memberinya pakaian baru. Namun, Mordekhai menolak, menegaskan bahwa situasi ini membutuhkan lebih dari sekadar kenyamanan sementara.
Sahabat Alkitab, kisah ini mengajak kita merenungkan tentang bagaimana respons kita terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar? Pada masa kini, kebijakan yang merugikan masyarakat kecil, eksploitasi lingkungan, dan ketidakadilan sosial seringkali terjadi tanpa banyak perlawanan. Kisah ini menegur kita agar tidak menjadi penonton pasif. Berani menyuarakan kebenaran meski berisiko, bersedia terlibat dalam gerakan kolektif dan menguatkan empati sebagai sesama korban. Ketika satu komunitas meratap dan berdoa bersama, ada kekuatan dalam solidaritas. Ratapan bukanlah akhir, melainkan gema hati yang menuntun langkah menuju pemulihan. Kita dipanggil untuk tidak hanya menangisi keadaan, tetapi juga bertindak untuk mengubahnya.