Dalam Ayub 16:11-22, kita melihat penderitaan yang begitu mendalam. Ayub merasa bahwa Allah sendiri telah menyerahkannya kepada orang fasik. Murka Ilahi digambarkan dengan kiasan yang mengerikan, seperti panah yang menembus jantung kehidupan. Penderitaan ini bukan hanya datang dari manusia, tetapi rasanya seperti dari Allah yang seolah-olah berpaling darinya.
Ayub tidak mengerti mengapa semua ini terjadi. Ia telah hidup benar, tetapi justru ia menjadi sasaran murka. Ia menangis, mengenakan kain kabung, dan berdoa dengan hati yang remuk. Namun, di tengah penderitaan yang gelap, ada cahaya kecil yang muncul: Ayub menyatakan bahwa saksinya ada di surga, bahwa ada satu Pribadi yang akan membelanya di hadapan Allah.
Pernyataan ini begitu kuat dan menggemakan ke masa depan. Sebab, di kemudian hari, kita menemukan bahwa benar ada seorang perantara, seorang saksi di hadapan Allah yang membela umat manusia—yaitu Yesus Kristus. Ia menjadi saksi bagi yang tertindas, suara bagi yang tak berdaya, dan pembela bagi mereka yang menderita ketidakadilan. Yesus sendiri mengalami apa yang Ayub rasakan: diejek, dicemooh, dipukul, bahkan disalibkan. Namun, dalam penderitaan itu, rencana keselamatan dinyatakan.
Sahabat Alkitab, dalam hidup sering kali tidak mendapatkan jawaban langsung atas penderitaan yang kita alami. Seperti Ayub, kita mungkin merasa bahwa dunia dan bahkan Tuhan sendiri meninggalkan kita. Kita mungkin bertanya, "Mengapa aku? Mengapa harus seperti ini?" Namun, iman bukanlah tentang mendapatkan semua jawaban atas segala pertanyaan yang menyeruak sebagai respon atas dinamika kehidupan, melainkan keberanian untuk menatap dan berharap pada-Nya sekalipun yang kita jumpai seringkali adalah keheningan. Saat kita menghadapi kesulitan, mari kita belajar untuk menengadah kepada Tuhan. Jangan hanya terpaku pada derita, tetapi percayalah bahwa ada tangan yang tak terlihat yang sedang mengukir sesuatu dalam hidup kita. Sebagaimana batu sungai yang terasah oleh arus, hidup kita pun sedang dibentuk menjadi sesuatu yang lebih indah.