Perikop Ayub 28:1–11 membawa kita pada perenungan yang dalam tentang keterbatasan manusia dan keagungan Sang Pencipta. Manusia, dalam segala kemampuannya, dapat menaklukkan gunung, menggali bumi, dan menemukan kekayaan tersembunyi dalam kegelapan tanah. Namun, justru dalam keberhasilan tertingginya itu, ia harus mengakui bahwa hikmat tetap tersembunyi.
Kita hidup dalam era pengetahuan dan kemajuan teknologi yang luar biasa. Kita menjelajahi angkasa, memetakan gen manusia, dan menciptakan kecerdasan buatan. Namun, apakah semua pencapaian itu membuat kita lebih bijaksana? Apakah kita benar-benar memahami tujuan hidup, nilai kebenaran, dan arti penderitaan? Bacaan hari ini mengingatkan kita bahwa hikmat bukan sekadar hasil eksplorasi intelektual, tetapi merupakan pemberian dari Allah. Pesan ini diperkuat pada Ayub 28:28, “Tetapi, kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya, takut akan Tuhan itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan adalah akal budi.” Hal ini menegaskan bahwa hikmat sejati lahir dari relasi yang benar dengan Tuhan—bukan hanya dari pengetahuan, tetapi dari sikap hormat, tunduk, dan hidup benar di hadapan-Nya.
Seringkali segala pencapaian dan pemikiran akan superioritas kita justru menjadikan kita semakin tinggi hati. Ketidakmampuan untuk melihat kehendak-Nya hadir sebagai sebuah keniscayaan. Sungguh sayang menjalani hidup tanpa penghayatan atas kebijaksanaan-Nya atau dengan kata lain hikmat-Nya.
Sahabat Alkitab, tentu kita boleh dan perlu menggali pengetahuan, mengeksplorasi dunia, dan berinovasi. Namun, hendaknya kita tidak kehilangan rasa kagum terhadap misteri ilahi. Hikmat yang sejati adalah milik Allah, dan hanya kepada yang rendah hati dan takut akan Dia, hikmat itu akan disingkapkan. Dengan demikian, pencarian kita akan hikmat harus dibarengi dengan pencarian akan Tuhan, sebab Dialah satu-satunya sumber segala pengertian.