Ada kalanya seseorang memilih diam bukan karena tidak peduli, melainkan karena sedang bertindak. Seorang ibu, misalnya, bisa tampak diam ketika anaknya mengeluh lapar. Tapi di dapur, ia sedang sibuk menyiapkan makanan atau mengambil telepon genggamnya untuk memesan makanan secara daring. Ia mendengar, memahami, dan bertindak—tanpa perlu menjawab dengan kata-kata. Demikian pula, Elihu dalam konteks bacaan hari ini, ia menawarkan sebuah perspektif bahwa ketika Allah “berdiam diri” (Ibrani: yashqit), bukan berarti Ia tidak peduli. Justru, diam-Nya bisa menjadi tanda bahwa Ia telah mendengar jeritan tertindas dan kini bertindak menyelamatkan. Keadilan ilahi tidak selalu dinyatakan melalui suara gemuruh atau tindakan kasat mata, tetapi juga melalui keheningan yang menyelamatkan.
Secara dramatis Elihu mengingatkan, bahwa tidak ada manusia yang berhak mengadili Allah. Ia berada di luar sistem pengadilan manusia. Ketika Allah “menyembunyikan wajah-Nya”, itu bukanlah kelemahan, tetapi pernyataan murka dan teguran terhadap kejahatan. Dalam diam-Nya, ada teguran. Dalam keheningan-Nya, ada hukuman. Maka, keadilan Allah bukan hanya aksi, tetapi juga ketidakhadiran yang bermakna. Elihu juga mendesak Ayub agar bertobat dan bersikap rendah hati. Dalam logika Elihu, langkah awal menuju pemahaman akan keadilan Allah adalah pengakuan dosa dan keterbukaan untuk diajar oleh hikmat-Nya.
Sayangnya, sikap Elihu yang kaku, hitam-putih, dan kurang empatik ini mencerminkan betapa mudahnya seseorang yang merasa benar secara teologis, sering kali tergelincir untuk mengabaikan kompleksitas luka dan penderitaan pribadi orang lain. Dari sinilah kita belajar bahwa walaupun pemahaman teologi kita benar, pendekatan kita belum tentu bijaksana. Kebenaran tentang Allah yang adil, tidak seharusnya menjadi alat untuk menghakimi mereka yang menderita, melainkan menjadi lentera yang menuntun kita kepada belas kasih.
Sahabat Alkitab, marilah kita merenungkan kembali, ketika Allah tampak diam, apakah kita masih dapat percaya bahwa Ia bertindak? Ketika keadilan terasa tertunda, apakah kita mampu menunggu dengan pengharapan? Kita dipanggil untuk belajar membedakan antara diam yang menyakitkan dan diam yang menyelamatkan. Elihu mungkin tidak memahami seluruh misteri penderitaan, tetapi ia mengingatkan kita bahwa keadilan Allah sungguh nyata, meski bekerja dalam cara yang melampaui logika kita. Maka, biarlah kita belajar percaya—bukan karena kita mengerti segalanya, melainkan karena kita mengenal Pribadi yang mengatur segalanya dengan bijaksana.