Pandangan teologis tradisional memahami sifat Allah sebagai yang Imanen sekaligus Transenden. Imanensi Allah tampak pada kesediaan-Nya untuk menghampiri dan menyapa manusia dalam segala kekhasan konteks yang dihadapi oleh sang ciptaan. Sementara itu dalam transendensi-Nya, ditegaskan sosok Allah yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, serta melampaui ruang dan waktu serta segala entitas yang ada dalam semesta. Iman yang sehat lahir dalam ketegangan kreatif antara imanensi dan transendensi Allah. Berada pada satu sisi saja akan menghadirkan ketimpangan pemahaman kita akan Allah. Pada bacaan kali ini kita melihat Elihu yang menampar Ayub melalui argumentasinya. Baginya, Ayub terlalu lancang sehingga berani menantang Allah dengan pertanyaan-pertanyaannya. Allah adalah sosok Maha Tinggi yang bahkan menciptakan langit dengan mudahnya.
Satu hal yang gagal dilihat Elihu adalah seruan dan pertanyaan Ayub berasal dari dasar penderitaan yang dalam. Ia merintih karena merasa Allah begitu jauh, seolah tak peduli. Elihu, dengan nada tegas, menegur Ayub karena menurutnya Ayub terlalu meninggikan diri—seakan lebih benar daripada Allah. Ia menggambarkan Allah sebagai Pribadi yang terlalu tinggi untuk terusik oleh dosa atau kebaikan manusia; terlalu mulia untuk menjawab teriakan manusia yang penuh keluhan.
Namun, dalam pandangan Elihu yang meninggikan serta membela kemahakuasaan Allah, terselip kekeliruan besar. Ia lupa bahwa Sang Maha Tinggi tidak hanya duduk jauh di takhta-Nya, tetapi rela turun mendengar keluh kesah manusia yang paling hina. Ia menggarisbawahi transendensi Yang Ilahi dan melupakan hasrat-Nya yang hendak menyapa serta dekat dengan ciptaan-Nya (Allah yang Imanen). Kemuliaan Allah bukan terletak pada jarak-Nya, melainkan pada kesediaan-Nya merendah untuk menjangkau yang rapuh. Allah bukan hanya Allah di ketinggian awan, tetapi juga Allah yang hadir dalam debu penderitaan. Ketika manusia tak lagi mampu berkata-kata, Allah berbicara lewat kedekatan-Nya. Ketika Elihu menekankan bahwa manusia harus layak dahulu untuk didengar, kasih Allah justru menyatakan bahwa Ia lebih dahulu mendekat, bahkan ketika manusia dalam kondisi tak layak.
Maka, ketika hidup terasa gelap dan langit seakan bungkam, jangan menyerah dalam doa. Allah tidak menutup telinga-Nya terhadap jeritan yang tulus, bahkan dari hati yang remuk. Akuilah keterbatasanmu dan bukalah hati, sebab justru dalam kerendahan itu, Sang Maha Tinggi berkenan hadir dan menyelamatkan. Ia tidak hanya berada jauh disana melampaui semesta, tetapi Ia juga hadir dan dekat dengan kita. Keberadaan-Nya dapat kita lihat dalam segala sesuatu di dunia ini yang dapat kita rasakan melalui seluruh pengalaman ragawi termasuk kala derita mengoyak tubuh dan mengguncang jiwa.