Seringkali kita menganggap bahwa berkat dan kebaikan yang ada dalam kehidupan merupakan sebuah keniscayaan. Seperti udara yang setiap saat kita hirup, atau seperti kasih ibu yang terus-menerus memberi tanpa pamrih, yang kita terima begitu saja sehingga lupa untuk menghayati berkat-berkat tersebut dengan sungguh. Kita tidak bersyukur karena merasa “sudah sepantasnya begitu.” Tapi ketika kebaikan itu sejenak absen, barulah kita tersadar, betapa bernilainya ia. Begitu pula dengan kebaikan Tuhan. Tanpa disadari, kita kerap menganggapnya sebagai hal biasa, misalnya dapat bernafas normal tanpa bantuan alat medis, berkat yang mencukupi kehidupan sesehari, relasi yang terjaga, bahkan perasaan tenang dan optimis di tengah krisis. Mazmur hari ini mengajak kita untuk berhenti sejenak, membuka mata batin, dan mengecap dengan kesadaran penuh betapa baiknya Tuhan, bahkan saat hidup tak mudah.
Mazmur 34 adalah nyanyian ucapan syukur dari Daud, ditulis setelah ia mengalami kelepasan dari bahaya besar. Ayat 1-3 menunjukkan bagaimana Daud memulai dengan pujian yang bukan formalitas, tetapi respons personal atas penyelamatan Tuhan. Pujian ini merupakan pernyataan syukur yang lahir dari kerendahan hati. Lebih dari itu, ajakan “Muliakanlah TUHAN bersama aku” adalah panggilan untuk mengalami pemulihan bersama. Dalam konteks sosial-keagamaan Israel, ketika seseorang keluar dari krisis, ucapan syukur dan pujian tidak hanya menjadi bentuk ibadah pribadi, tetapi juga menjadi cara untuk kembali diterima dalam komunitas. Puji-pujian menjadi bentuk rekonsiliasi spiritual dan sosial. Ayat 4–6 menyoroti pergumulan pribadi Daud: “Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku.” Kata “mencari” (נבט–daras) dalam bahasa Ibrani bisa berarti mencari Tuhan secara intensional, seperti mengunjungi bait atau berseru dalam doa yang tulus. Hasilnya bukan sekadar jawaban, melainkan kelepasan yang menyeluruh. Kelepasan dari ketakutan, aib, dan rasa ditinggalkan, dan mereka yang memandang Tuhan mukanya akan “berseri-seri”. Mereka yang melihat Tuhan, wajahnya akan berubah karena hadirnya harapan.
Maka dari itu, penggalan syair “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN!”, bukan sekadar seruan puitis, tetapi ajakan untuk menghayati keberadaan kita secara lebih mendasar. “Kecaplah dan lihatlah” merupakan sebuah tindakan indrawi. Pengalaman akan Tuhan tidak hanya bersifat teologis atau rasional, tetapi nyata dan bisa dirasakan oleh indra kita. Maka ketika pemazmur berkata “kecaplah dan lihatlah,” ia mengundang umat untuk mengalami kebaikan Tuhan secara penuh, dengan tubuh, pikiran, dan jiwa.
Sahabat Alkitab, dalam hidup modern yang serba cepat, kita cenderung kehilangan kepekaan terhadap kehadiran Tuhan. Kita hidup seperti ‘autopilot’, sibuk, khawatir, berlari ke sana kemari tanpa benar-benar mengecap hidup yang sedang terjadi. Hari ini kita diingatkan pentingnya bersikap mindfulness, memiliki kesadaran penuh atas momen yang sedang kita jalani saat ini. Menyadari bahwa dalam setiap napas, dalam setiap kelepasan, bahkan dalam kesesakan, Tuhan tetap bekerja. Maka, marilah kita belajar untuk mengecap kebaikan Tuhan setiap hari. Saat menyantap sarapan, ingatlah bahwa itu adalah bagian dari pemeliharaan Allah atas hidup kita. Saat luka kita disembuhkan, syukurilah tangan kasih-Nya yang memulihkan. Saat doa kita dijawab, jangan lupa bersaksi agar orang lain pun dapat memuliakan Tuhan bersama kita.