Luka karena pengkhianatan dapat menyebabkan trauma relasional, atau rasa sakit yang tak hanya melukai perasaan, tetapi meretakkan kepercayaan. Kita bisa mengampuni, tapi sulit melupakan bagaimana seseorang yang kita tolong malah menjadi orang yang mengabaikan, menyakiti, bahkan mengolok-olok saat kita terjatuh. Namun mazmur memberi ruang bagi suara yang terluka. Pemazmur tidak menutupi perasaannya. Ia menumpahkannya di hadapan Tuhan dengan jujur dan getir.
Pemazmur menuturkan dengan gamblang: mereka yang dahulu ia doakan kini menertawakannya. Mereka mengejek, mengatupkan gigi, bahkan bersorak atas kemalangannya. Di tengah perasaan dikhianati, ia tidak menyimpan dendam, tetapi mengubah penderitaannya menjadi doa. Pemazmur membawa rasa sakit itu ke hadapan Allah, bukan menelannya sendiri. Ini semua dilakukan dengan kesadaran bahwa keadilan adalah milik Tuhan. Permohonannya dilakukan agar Tuhan tidak diam, melainkan ‘melihat’ serta membelanya.
Sahabat Alkitab, mungkin sebagian dari kita menganggap bahwa doa-doa yang dinaikkan oleh pemazmur cukup keras, tetapi pada saat yang sama seruan tersebut sesungguhnya sangat manusiawi. Pemazmur tidak membungkus luka dengan kata-kata normatif yang malah dapat memperparah penderitaannya. Dalam dunia yang menyukai pencitraan dan kekuatan semu, pemazmur mengajak kita untuk hadir di hadapan Tuhan dengan jujur. Membawa hati yang rapuh, bukan topeng keberanian semu, serta terarah kepada relasi dengan Allah sendiri. Kita diajak untuk berani jujur dengan rasa sakit yang tengah dialami, terutama saat kita mengalami situasi serupa, yaitu ketika kebaikan kita disalahgunakan. Ingatlah bahwa Allah bukan hanya pendengar keluhan, Ia adalah pembela yang setia. Maka saat kata-kata sulit terucap, biarkan doa seperti Mazmur ini menjadi suara kita. Sebab di sanalah kita menemukan bahwa keadilan sejati dan penghiburan terdalam hanya berasal dari Dia yang melihat segalanya dan tak pernah tinggal diam.