Ada saat di mana diam menjadi pilihan, dikala pergulatan batin begitu pelik dan menyesakkan. Pemazmur dalam Mazmur 39 menggambarkan dengan baik situasi tersebut, antara mengendalikan lidah dan membiarkan hati yang bergejolak meluapkan jeritan yang terpendam. Sebab terkadang, kata-kata yang kita keluarkan juga tidak dapat menggambarkan seutuhnya apa yang tengah kita rasakan.
Pemazmur mencoba “menahan mulutnya dengan kekang” agar tidak berdosa dengan lidahnya. Namun semakin dia diam, semakin panas hatinya. Inilah paradoks manusia, diam tidak selalu merupakan kebajikan, kadang justru menjadi bara yang membakar jiwa. Pemazmur akhirnya meluapkan pergumulannya kepada Tuhan, yang diungkapkannya bukan sembarang keluhan, melainkan doa penuh keberanian, “Ya TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku, supaya aku menyadari betapa fananya aku!” (Mazmur 39:5). Dengan berani, pemazmur mengakui kefanaannya, ketidakberdayaan, bahkan mempertanyakan pertanyaan yang seakan tanpa jawaban. Hal ini menunjukkan bahwa ia memahami betul relasinya dengan Tuhan adalah relasi yang hidup. Tuhan mengizinkan umat datang dengan semua kebingungan dan kegelisahan hatinya.
Sahabat Alkitab, hidup beriman bukan hanya tentang menemukan semua jawaban, melainkan tentang menjaga kejujuran dan memiliki hati yang terus mencari kebenaran-Nya. Maka ketika lidah kita menjadi kelu dan kata-kata tak sanggup diucapkan, biarlah hati kita tetap berbicara kepada Tuhan. Dengan mengarahkan seluruh keberadaan kita hanya kepada Allah semata. Pilihan hati yang demikian menggambarkan kuatnya relasi antara kita dengan Allah. Bukankah yang paling penting adalah memelihara serta membangun relasi yang erat dan dekat dengan-Nya? Sehingga disaat pergumulan hebat datang menerpa, kita tidak akan pernah goyah.