Mazmur 68 adalah salah satu nyanyian yang penuh gegap gempita. Pemazmur memulai dengan seruan, “Allah bangkit, maka terseraklah musuh-musuh-Nya, orang-orang yang membenci Dia melarikan diri dari hadapan-Nya” (ayat 2). Namun di balik gambaran Allah yang penuh kuasa dan dahsyat, tersembunyi paradoks yang indah, Ia yang perkasa justru memperhatikan yang lemah. Allah yang bersemayam di kediamannya yang kudus, yang berjalan di padang belantara dengan kuasa, digambarkan juga sebagai “Bapa bagi anak yatim, Pembela bagi para janda” (ayat 6).
Inilah wajah Allah yang berbeda dari gambaran penguasa dunia. Kuasa di tangan manusia sering kali berarti dominasi, menindas yang kecil, dan memperkuat yang sudah kuat. Tetapi kuasa Allah hadir dalam bentuk lain: kuasa yang memerdekakan, kuasa yang menegakkan keadilan, dan kuasa yang membela mereka yang tak berdaya. Mazmur ini adalah nyanyian kemenangan, tetapi bukan kemenangan yang diperoleh lewat penaklukan arogan, melainkan kemenangan yang berpihak pada kehidupan, pada mereka yang rentan dan pada yang terpinggirkan. Dalam konteks kita hari ini, pesan ini terasa relevan. Kita hidup di dunia di mana yang kuat seringkali mengabaikan yang lemah: mereka yang suaranya dipadamkan dalam hiruk-pikuk politik, mereka yang kehilangan akses pada pendidikan, kesehatan, atau bahkan sekadar pengakuan akan martabatnya. Tetapi Mazmur 68 mengingatkan kita bahwa Allah yang sejati tidak berada di pihak penindas. Ia justru berdiam bersama mereka yang tertindas, menghadirkan pembelaan, dan memberi tempat bagi yang terusir.
Pengalaman akan Allah yang “membela yang lemah” menumbuhkan rasa aman yang mendalam. Rasa aman ini bukan sekadar ketiadaan bahaya, tetapi kesadaran eksistensial bahwa hidup ini dijaga oleh kasih yang lebih besar dari kuasa apa pun. Orang yang hidup dalam kesadaran seperti ini akan lebih berani menghadapi ketidakadilan, lebih rela berbagi dengan sesama, dan lebih teguh dalam menegakkan kebenaran—karena ia tahu, di balik keterbatasannya, ada Allah yang membela.
Sahabat Alkitab, jika Allah yang perkasa saja memilih membela yang lemah, bukankah kita juga dipanggil melakukan hal yang sama? Menjadi “kuat” bukan berarti berkuasa atas orang lain, tetapi berani menggunakan kekuatan untuk mengangkat mereka yang jatuh, melindungi yang rapuh, dan memberi ruang bagi yang tidak dianggap. Maka, marilah kita merayakan kuasa Allah yang membebaskan dengan cara hidup yang membela sesama. Dengan begitu, kita tidak hanya menyanyikan, “Terpujilah Tuhan! hari demi hari Ia menanggung beban bagi kita” (ayat 20), tetapi juga menghadirkan nyanyian itu dalam kenyataan. Sebab Allah yang perkasa itu masih bekerja, melalui kita yang dipanggil untuk membela, mengangkat, dan mengasihi.