Sekilas, doa Daud ini terdengar jauh dari sikap spiritualitas yang biasa kita bayangkan, yaitu sikap seseorang dengan laku dan tutur kata yang lembut. Namun inilah bentuk kejujuran yang sangat manusiawi, yang sesungguhnya dapat menuntun kita pada bentuk iman yang murni
Daud sedang marah, terluka, dikhianati. Ia tidak menutupi itu di hadapan Tuhan. Ia meluapkan semua emosinya tanpa sensor. Bukan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Inilah bentuk kejujuran emosi yang sering kita hindari dalam kehidupan beriman. Kita sering merasa harus ‘baik-baik saja’ di hadapan Tuhan, padahal iman sejati justru memberi ruang bagi seluruh warna emosi manusia: marah, kecewa, takut, bahkan keinginan untuk membalas. Mazmur ini menunjukkan bahwa doa sejati tidak selalu indah dan teratur. Kadang ia lahir dari kekacauan batin yang mendalam. Tetapi di balik kejujuran emosinya, pemazmur melakukan satu hal penting: ia tidak bertindak atas amarahnya. Ia menyerahkan pembalasan kepada Allah. Ia tahu bahwa keadilan sejati tidak lahir dari kemarahan manusia, melainkan dari tangan Allah sendiri. “Aku berdoa,” katanya, ini berarti ia memilih untuk tidak membalas, melainkan memproses lukanya di hadapan Tuhan.
Selama tidak disertai perilaku destruktif, mengakui dan mengungkapkan kemarahan bukanlah tindakan dosa, sebaliknya merupakan bagian penting dari kesadaran diri. Menekan kemarahan justru dapat melahirkan stres, kecemasan, bahkan depresi. Sebaliknya, mengungkapkannya dalam bentuk doa memberi ruang bagi pelepasan emosional yang konstruktif. Doa menjadi terapi rohani, tempat di mana amarah diproses menjadi kedewasaan. Pemazmur tahu bahwa Allah melihat semuanya, termasuk luka dan frustrasi yang tersembunyi. Dan justru di sanalah imannya tumbuh: bukan dengan menekan rasa marah, tetapi dengan mengizinkan Allah menenun keadilan dari tengah kekacauan batin kita.
Sahabat Alkitab, bacaan kali ini mengingatkan kita untuk senantiasa hidup dalam kejujuran terhadap diri sendiri. Bahkan termasuk seluruh dinamika emosi yang terkadang kita alami berdasarkan situasi yang terjadi. Ketidakadilan yang mencengkram dan menindas itu mungkin menghadirkan kegeraman jiwa yang luar biasa. Namun perasaan tersebut bukanlah pembenaran untuk melakukan perilaku destruktif. Karena pada akhirnya, bukan balas dendam yang memulihkan, melainkan keadilan Allah yang bekerja dalam kasih dan waktu-Nya sendiri.
























