Persembahan dari umat Tuhan idealnya merupakan salah satu bentuk ucapan syukur yang dilandasi kesadaran bahwa Tuhan telah berperan begitu besar bagi hidupnya. Tindakan orang-orang Israel dengan memberikan persembahan kepada Tuhan pasca selesainya proses pendirian Kemah Suci pun mencerminkan hal yang serupa. Persembahan itu mereka berikan atas keberadaan Kemah Suci sebagai ‘tempat tinggal Tuhan’ di tengah-tengah mereka. Persembahan itu pun tidak dimaksudkan untuk Kemah Suci itu sendiri sebagai benda, melainkan pada segala nilai yang ada di baliknya, yakni kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka. Persembahan itu tidaklah diberikan untuk menarik perhatian Tuhan agar bersedia hadir di tengah-tengah orang Israel, melainkan sebagai respons kepada Tuhan yang telah lebih dahulu memberikan kehadiran-Nya di tengah-tengah mereka.
Setiap persembahan yang diberikan oleh seorang umat juga perlu dilandasi dengan kesadaran iman bahwa Tuhanlah yang telah berperan aktif dalam kehidupannya, bukan justru sebagai modal awal untuk mendapatkan kelimpahan materiel dari perkalian terhadap setiap nominal persembahan yang ia berikan kepada Tuhan. Persembahan dari seorang umat Tuhan semestinya muncul dengan ketulusan dan kerinduan yang begitu besar untuk merespons segala berkat, penyertaan, kehadiran dan kasih Tuhan telah begitu melimpah di dalam kehidupannya.
Sahabat Alkitab, marilah kita merenungkan firman Tuhan ini sembari melakukan evaluasi terhadap segala motivasi yang kita miliki dalam memberikan persembahan, yakni: Apakah kita memberikan persembahan karena menyadari atas segala peran aktif Tuhan dalam kehidupan kita atau justru untuk mendapatkan banyak hal lain yang kita inginkan dari Tuhan? Tentu saja, memohonkan sesuatu kepada Tuhan bukanlah hal salah untuk dilakukan. Namun, kita perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam kekerasan hati dan ketamakan diri berbalutkan ‘persembahan’ agar Tuhan bersedia bertindak sesuai dengan apa yang kita inginkan.