Kehadiran dua kata ‘dendam’ dan ‘pembalasan’ yang dilekatkan pada sosok Tuhan di dalam nyanyian Musa ini sebenarnya bukanlah hal yang asing ditemui dalam teks-teks Ibrani. Ada banyak narasi yang juga menggambarkan hal serupa. Namun, mengapa demikian? Bukankah kedua kata tersebut memiliki konotasi yang buruk? Apakah Tuhan memiliki sifat atau sisi buruk pada Diri-Nya? Inilah letak paling besar antara perilaku dari manusia dengan apa yang Tuhan lakukan.
Pada saat manusia melakukan pembalasan, kecenderungan hati dan perhatian utamanya hanya berpusat pada kemarahan, kepuasan diri sendiri yang sarat dengan karakter jahat di dalamnya. Namun, pada saat pembalasan dilekatkan pada sosok Tuhan, hal ini tidaklah sama dengan nilai dari pembalasan yang dilakukan oleh manusia. Pembalasan dari Tuhan tidak dimaksudkan untuk melampiaskan keinginan jahat dan menghancurkan si manusia, melainkan untuk menghadirkan keadilan dan mewujudkan keselamatan yang telah dirusak oleh perilaku manusia itu sendir. Hal ini pula yang sering muncul dalam narasi hidup bangsa Israel yang telah berulang kali merusak rancangan Tuhan. Konsep ini pun terbukti dengan kehadiran ayat 36 yang seolah berbanding berbalik dengan ayat 35, meskipun keduanya sangatlah selaras dan berkaitan.
Tuhan selalu menginginkan umat-Nya menjalin relasi yang intim dengan-Nya. Namun, sungguh disayangkan karena pada kenyataannya justru umat-Nya itu sendirilah yang berulang kali merusak hubungan yang telah Ia bangun dan berulang kali pula mengkhianati-Nya. Meski demikian, kasih Tuhan jauh lebih besar dan berkuasa dibanding setiap kesalahan dan kejahatan pada diri manusia sehingga setiap gerakan yang Ia lakukan pada dasarnya bertujuan untuk merengkuh kita, bukan justru sebagai tampikan untuk menjauhkan kita dari-Nya.