Siapa yang ingin dikhianati? Bagi anda yang sudah menjalani hubungan pernikahan, sudah tentu tema ‘kecemburuan’, ‘kesetiaan’, dan ‘pengkhianatan’ sangan relevan untuk dihadapi? Namun, ketiga kata tersebut tidak hanya dapat dialami dalam sebuah pernikahan melainkan juga pada banyak bentuk relasi yang melibatkan orang lain. Orang tua tentu tidak ingin dikhianati oleh anaknya atau anak-anak dikhianati oleh orang tuanya. Seorang sahabat pun dapat merasakan cemburu dan dikhianati. Bahkan, di dalam hubungan antara manusia dengan TUHAN tema ‘kecemburuan, kesetiaan dan pengkhianatan’ selalu relevan untuk terus digumuli. Hal ini pula yang muncul dalam teks Alkitab yang kita baca hari ini.
Tulisan Paulus ini mungkin terkesan sebagai sebuah pesan ‘curhat’ atau curahan hatinya kepada jemaat di Korintus. Pada satu sisi, memang benarlah demikian. Namun, perikop ini juga berisikan sebuah pokok teologis yang penting dalam hidup beriman yaitu perihal kesetiaan. Hal ini terkandung dalam pembahasan tentang topik ‘kecemburuan’ yang Paulus lakukan terhadap hubungan antara ia dengan jemaat. Kecemburuan itu menjadi dampak yang ditimbulkan dari inkonsistensi jemaat dalam menjalani hubungan, bukan secara langsung dengan Paulus melainkan dengan Kristus. Kita perlu mengingat bahwa konteks penulisan ini dilakukan untuk kondisi jemaat yang sedang mengalami ‘riak’ internal terkait beredarnya pengajaran-pengajaran yang bertentangan dengan pengajaran dari Paulus. Oleh sebab itu, kecemburuan yang dimaksudkan Paulus pada perikop ini tidak sedang menitikberatkan pada dirinya secara personal, melainkan pada sulitnya hati Paulus kalau harus melihat jemaat berpaling dari iman yang sesungguhnya kepada Kristus.
Sahabat Alkitab, kecemburuan yang Paulus alami terhadap jemaat di Korintus perlu kita jadikan sebagai cermin untuk merefleksikan hidup beriman di dalam Tuhan. Paulus ingin jemaat di Korintus memberikan kesetiaaan kepada Kristus, sehingga ia pun dapat merasakan sukacita atas komitmen dari jemaat tersebut. Kecemburuan pada diri Paulus yang muncul dalam tulisan ini pun perlu kita lihat sebagai sebuah kondisi hati dari seorang manusia, yakni Paulus, yang begitu mendambakan kesetiaan pada diri manusia lainnya, dalam hal ini dari jemaat di Korintus. Oleh sebab itu, kita perlu menyadari bahwa menjalani hidup bersama Tuhan berarti perlu memberikan komitmen dalam mempertahankan kesetiaan. Lagi pula, bukankah setiap orang ingin yang berada dalam sebuah hubungan, apa pun itu, selalu ingin mengalami kesetiaan alih-ali dikhianati? Mengapa? Paling tidak, seseorang yang mendapatkan kesetiaan akan merasa dihargai, diperjuangkan, dianggap dan dipertahankan. Jadi, mampukan kita setia?