Perkembangan pesat dalam ilmu genetika dan neurosains telah menantang pemahaman tradisional mengenai sifat manusia dan spiritualitas. Salah satu temuan penting adalah konsep God Gene yang dikemukakan oleh Dean Hamer, serta studi dalam neurotheology yang menunjukkan hubungan antara aktivitas otak dan pengalaman spiritual. Sementara itu, teknologi CRISPR telah membuka kemungkinan untuk memodifikasi sifat genetik manusia, termasuk aspek-aspek yang berhubungan dengan spiritualitas.
God Gene dan Neurotheology
Dean Hamer mengemukakan bahwa gen VMAT2 berperan dalam kecenderungan spiritual seseorang. Gen ini mengatur produksi neurotransmitter seperti dopamin, yang dapat mempengaruhi pengalaman religius dan kedekatan seseorang dengan Tuhan. Studi neurotheology mendukung teori ini dengan menunjukkan bahwa aktivitas di frontal lobe meningkat saat seseorang berdoa atau bermeditasi, sementara parietal lobe, yang berperan dalam pemahaman ruang dan waktu, mengalami penurunan aktivitas. Hal ini menjelaskan mengapa seseorang yang berdoa sering merasa lebih dekat dengan Tuhan.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: jika kecenderungan spiritualitas dapat dijelaskan secara biologis, apakah itu berarti bahwa imago Dei hanyalah hasil evolusi otak dan genetika? Atau sebaliknya, apakah Tuhan memang telah menanamkan sifat spiritualitas dalam gen manusia sebagai bagian dari gambar dan rupa-Nya?
CRISPR: Dari Bakteri ke Manusia
CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats) awalnya ditemukan sebagai sistem pertahanan bakteri terhadap infeksi virus. Teknologi ini memungkinkan ilmuwan untuk mengedit DNA dengan presisi tinggi. Beberapa aplikasi CRISPR dalam dunia manusia meliputi:
- Terapi Genetik: Mengobati penyakit genetik dengan mengoreksi mutasi.
- Peningkatan Kemampuan: Mengubah karakteristik fisik dan kognitif, termasuk potensi penguatan aspek spiritual seseorang.
- Modifikasi Hewan dan Tanaman: Menciptakan organisme dengan karakteristik tertentu.
Implikasi dari teknologi ini menimbulkan tantangan etis dan teologis. Apakah manusia boleh “memodifikasi” dirinya sendiri untuk menjadi lebih rohani? Jika CRISPR digunakan untuk meningkatkan kapasitas spiritual seseorang, apakah itu akan menciptakan kesenjangan antara individu yang mampu secara finansial dan mereka yang tidak (GenRich vs. GenPoor)?
Imago Dei dalam Perspektif Alkitab
Konsep imago Dei dalam Alkitab muncul dalam Kejadian 1:26-27, yang menegaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dalam Perjanjian Lama, kata צֶלֶם (tselem: gambar) sering merujuk pada representasi fisik, sementara דמות (demut: rupa) mengandung unsur kemiripan yang lebih abstrak. Dalam Perjanjian Baru, imago Dei, εἰκὼν (eikon: gambar) dan ὁμοίωμα (homoíōma: rupa) dipahami melalui Yesus Kristus, yang adalah gambar Allah yang sempurna (Kolose 1:15, Ibrani 1:3).
Dari perspektif teologis, imago Dei bukan sekadar soal bentuk fisik atau kapasitas kognitif, tetapi juga tentang peran manusia sebagai wakil Allah di dunia. Jika demikian, modifikasi genetika yang bertujuan meningkatkan aspek tertentu dari manusia tidak serta-merta mengubah esensi kemanusiaannya, tetapi dapat menimbulkan dilema moral dan spiritual.
Are we playing God?
Pertanyaan etis yang muncul dalam diskusi tentang modifikasi genetika adalah apakah manusia sedang “bermain sebagai Tuhan.” Dalam mitologi Yunani, Prometheus dihukum karena membawa pengetahuan kepada manusia, dan dalam literatur modern, tokoh seperti Frankenstein menggambarkan bahaya dari kesombongan ilmiah. Beberapa argumen dalam bioetika menolak modifikasi genetik atas dasar bahwa ada alasan mengapa alam bekerja sebagaimana adanya, dan mengubahnya dapat membawa konsekuensi yang tidak terduga.
Namun, dari perspektif Kristen, jika teknologi digunakan untuk mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup tanpa merusak nilai moral dan etika, maka penggunaannya dapat dibenarkan. Masalahnya bukan pada teknologi itu sendiri, tetapi pada bagaimana teknologi tersebut diterapkan dan dengan tujuan apa.
Jangkauan Sains dan Implikasi Teologis
Sains dapat menjelaskan bagaimana spiritualitas bekerja di tingkat biologis, tetapi tidak dapat menentukan makna dan tujuan spiritualitas itu sendiri. Beberapa aspek imago Dei seperti rasionalitas, kasih, dan moralitas tidak dapat direduksi hanya ke dalam faktor genetika.
Di sisi lain, doktrin imago Dei sendiri telah mengalami perkembangan pemaknaan sepanjang sejarah. Penggunaan istilah ini dalam Alkitab sering kali bersifat literal, tetapi para teolog telah mengembangkan pemahamannya ke dalam aspek spiritual dan teologis. Oleh karena itu. Oleh karena itu, pertanyaan utama bukanlah apakah modifikasi genetik dapat mengubah manusia secara fisik, tetapi apakah itu mengubah cara manusia merespons Tuhan.
Penemuan dalam genetika dan neurosains memberikan wawasan baru tentang bagaimana manusia mengalami spiritualitas. Namun, pemahaman tentang imago Dei tidak dapat direduksi hanya ke dalam aspek biologis. Teknologi seperti CRISPR dapat digunakan untuk pengobatan, tetapi penerapannya dalam peningkatan spiritualitas menimbulkan tantangan etis dan teologis yang mendalam.
Bagaimana kita dapat menavigasi batas antara pemahaman spiritual sebagai bagian dari desain ilahi dan sebagai hasil dari proses biologis yang dapat dimodifikasi?
Ayo saksikan videonya di tautan ini!
Referensi
- Hamer, D. H. (2004). The God Gene: How Faith is Hardwired into Our Genes. New York: Doubleday.
- Persinger, M. A. (2001). Neurotheology: Brain, Science, Spirituality, Religious Experience. New York: Nova Science.
- Collins, F. S. (2006). The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief. New York: Free Press.
- Doudna, J. A., & Sternberg, S. H. (2017). A Crack in Creation: Gene Editing and the Unthinkable Power to Control Evolution. New York: Houghton Mifflin Harcourt.
- Cole-Turner, R. (2020). Transhumanism and Transcendence: Christian Hope in an Age of Technological Enhancement. Washington, DC: Georgetown University Press.