Gerakan Pentakosta dewasa ini telah menjelma menjadi salah satu kekuatan religius terbesar dalam kekristenan global, dengan lebih dari 600 juta penganut di seluruh dunia. Pertumbuhan yang masif ini tidak hanya mencerminkan ekspansi institusional, tetapi juga mencerminkan dinamika spiritual yang kuat. Di Indonesia sendiri, kehadiran gereja-gereja Pentakosta menandai babak penting dalam perkembangan Kekristenan modern.
Akar Historis dan Teologis Gerakan Pentakosta
Pentakostalisme tidak muncul dalam ruang hampa sejarah, melainkan berakar pada dinamika pembaruan rohani dan pergulatan teologis yang panjang. Bill Menzies mengemukakan empat model hubungan gereja masa kini dengan gereja apostolik: (1) Katolik Roma sebagai model kontinuitas langsung, (2) Reformed sebagai warisan yang direformasi, (3) Restorationist sebagai upaya pemulihan menyeluruh, dan (4) Pentakosta sebagai pemulihan progresif melalui kebangunan rohani.
Kelompok terakhir ini menekankan pemulihan pengalaman gereja mula-mula, terutama berkaitan dengan pencurahan Roh Kudus dan manifestasi karunia-karunia spiritual, sebagaimana terekam dalam Kisah Para Rasul.
Empat Gelombang Gerakan Pentakosta Global
Gerakan Pentakosta global dapat diklasifikasikan ke dalam empat gelombang besar:
-
Pentakosta Klasik (Awal 1900-an)
Dimulai melalui kebangunan rohani di Azusa Street, Los Angeles (1906), yang dipimpin William J. Seymour. Gerakan ini menekankan baptisan Roh Kudus sebagai pengalaman kedua setelah pertobatan, dengan bukti awal berupa bahasa lidah (glossolalia). Subdivisinya mencakup:
-
Trinitarian klasik (misalnya Assemblies of God),
-
Non-Trinitarian atau "Jesus Only" (misalnya United Pentecostal Church),
-
Holiness Pentecostals yang menggarisbawahi penyucian hidup.
-
Gerakan Karismatik (1960-an)
Muncul dari dalam gereja-gereja arus utama seperti Katolik, Anglikan, dan Lutheran. Gerakan ini menekankan pembaruan spiritual melalui karunia Roh Kudus namun tidak selalu menjadikan bahasa lidah sebagai syarat bukti baptisan Roh Kudus. Pendekatannya lebih liturgis dan terbuka terhadap struktur gereja tradisional. -
Gelombang Ketiga (1980-an)
Dipimpin oleh tokoh seperti John Wimber dan C. Peter Wagner. Fokusnya pada pelayanan kuasa (power ministry), spiritual warfare, serta otoritas apostolik, namun tidak menuntut pengalaman baptisan Roh Kudus sebagai momen terpisah dari keselamatan. -
Neo-Karismatik (1990-an dan sesudahnya)
Berupa gereja-gereja independen dan post-denominasi dengan nama-nama kontemporer, seperti Hillsong atau Bethel Church. Ciri khasnya adalah gaya ibadah kreatif, visualisasi iman, dan penekanan pada teologi kemakmuran.
Konteks Historis di Indonesia
Gerakan Pentakosta diperkenalkan ke Indonesia oleh dua keluarga misionaris eks-Bala Keselamatan: Cornelis–Marie Groesbeek dan Dirkrichard–Stien van Klaveren, yang tiba di Jakarta pada 1921. Meski menghadapi hambatan dari pemerintah kolonial Belanda, khususnya di Bali, mereka akhirnya memusatkan pelayanan di Jawa Timur.
Pada 1924, gerakan ini secara resmi didaftarkan sebagai De Pinkster Gemeente in Nederlandsch-Indie. Tahun 1942, nama Indonesia-nya diadopsi menjadi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). Ketegangan internal mulai muncul sejak 1925, termasuk kontroversi tentang peran perempuan dalam pelayanan dan isu teologi Tritunggal. Nona Alt, salah satu pemimpin perempuan awal, mendirikan organisasi baru bernama De Pinkster Zending pada 1931.
Setelahnya, fragmentasi terjadi. Pada 1932, Pdt. Thiesen mendirikan Gerakan Pentakosta; dan pada 1941, Pdt. D. Sinaga mendirikan Gereja Pentakosta Sumatera Utara. Tahun 1946 ke depan menyaksikan munculnya denominasi-denominasi baru seperti Gereja Isa Almasih (GIA) dan GBIS. Saat ini, lebih dari 40 denominasi Pentakostal berdiri di Indonesia.
Tidak hanya berkembang dalam ruang gereja eksklusif, sejak 1990-an gerakan karismatik turut meresap ke dalam gereja-gereja arus utama seperti HKBP, GPIB, bahkan Gereja Katolik, menandai fase integrasi dan adaptasi spiritualitas Pentakostal di berbagai spektrum gereja.
Teologi Injil Sepenuh
Doktrin khas gereja-gereja Pentakosta dikenal sebagai Injil Sepenuh (Full Gospel), yang mencakup:
-
Yesus sebagai Juruselamat – menekankan transformasi hidup secara personal.
-
Yesus sebagai Pembaptis – khususnya dalam baptisan Roh Kudus.
-
Yesus sebagai Penyuci – fokus pada kehidupan kudus meskipun kadang lebih bersifat individual ketimbang sosial.
-
Yesus sebagai Penyembuh – doktrin kesembuhan ilahi menjadi kunci pertumbuhan gereja.
-
Yesus sebagai Raja yang akan datang – eskatologi aktif menantikan kedatangan Kristus.
Kelima aspek ini membentuk identitas teologis unik yang membedakan Pentakostalisme dari denominasi Kristen lainnya.
Doktrin baptisan Roh Kudus
Dalam tradisi Pentakostal, terdapat tiga pandangan umum mengenai baptisan Roh Kudus:
-
Sebagai pengalaman kedua (the second work of grace), terpisah dari pertobatan awal.
-
Sebagai bagian dari proses berkelanjutan tanpa bukti bahasa lidah.
-
Sebagai pengalaman yang ditandai secara eksplisit melalui bahasa lidah sebagai bukti awal.
Rujukan utama dari pandangan ini terdapat dalam lima kisah pencurahan Roh Kudus dalam Kisah Para Rasul, diantaranya:
-
Kisah Para Rasul 2 – Hari Pentakosta
-
Kisah Para Rasul 8 – Kebangunan Rohani Samaria
-
Kisah Para Rasul 9 – Baptisan Paulus
-
Kisah Para Rasul 10 – Rumah Tangga Kornelius
-
Kisah Para Rasul 19 – Para Tua-tua di Efesus
Narasi kisah ini memperlihatkan bahwa pengalaman Roh Kudus bukan hanya menyangkut keselamatan, tetapi juga pemberdayaan bagi pelayanan.
16 Pokok Iman Gereja Pentakosta
Gereja-gereja Pentakosta umumnya merumuskan doktrin mereka dalam 16 pokok iman berikut:
-
Alkitab dilhamkan
-
Allah Yang Benar Satu-satunya
-
Ketuhanan Yesus Kristus
-
Kejatuhan Manusia dalam Dosa
-
Keselamatan Manusia
-
Sakramen-sakramen Gereja
-
Baptisan Roh Kudus
-
Tanda awal fisik dari Baptisan Roh Kudus: Berbicara bahasa lidah
-
Kesucian
-
Gereja dan Misinya
-
Pelayanan
-
Kesembuhan Ilahi
-
Pengharapan diberkati
-
Pemerintahan Kerajaan Allah Seribu Tahun Kristus
-
Penghakiman Kekal
-
Langit Baru dan Bumi Baru.
Pokok-pokok ini menjadi fondasi teologis yang membedakan identitas Pentakosta.
Spiritualitas Bahasa Lidah
Ciri khas utama dalam ekspresi spiritual Pentakosta adalah penggunaan bahasa lidah, yang dianggap:
-
Sebagai tanda iman
-
Bukti pencurahan Roh Kudus
-
Alat komunikasi spiritual dengan Allah
-
Sarana membangun diri sendiri secara rohani
-
Tanda yang berbicara kepada orang tidak percaya
-
Media doa dan penyembahan
-
Membangun tubuh Kristus bila disertai penerjemahan
Dengan demikian, bahasa lidah bukan hanya ekspresi spiritual personal, tetapi juga fungsi profetik dan komunitarian.
Gerakan Pentakosta, dengan seluruh keberagaman ekspresinya, menunjukkan bahwa kehidupan spiritual Kristen selalu terbuka pada pembaruan. Di tengah tantangan modernitas dan globalisasi, gereja-gereja Pentakosta telah membuktikan kapasitasnya untuk menjembatani pengalaman spiritual yang otentik dengan relevansi kontekstual. Sejarah dan teologinya mengajak kita merenungkan kembali makna kehadiran Roh Kudus dalam kehidupan bergereja dan keberimanan umat Kristen masa kini.