Berbicara tentang keberanian, kita pasti tertarik mengaitkannya dengan pengalaman sehari-hari. Dalam banyak hal, manusia dituntut untuk berani. Misalnya, berani melawan perlakuan semena-mena dinilai sebagai sebuah kebajikan atau kepahlawanan. Memang keberanian juga punya makna yang negatif, seperti ketika orang berani berbuat jahat. Yang menjadi perhatian kita saat ini adalah keberanian yang ditunjukkan dalam kitab Wahyu.
Kitab Wahyu yang menutup rangkaian tulisan dalam PB bertemakan keberanian. Keberanian itu adalah kesediaan orang beriman untuk menyatakan iman di tengah situasi dimana hidup dan nilai-nilai mereka dipertaruhkan. Kitab ini dilatarbelakangi oleh ketegangan yang dialami umat Allah di bawah kuasa dunia yang jahat. Orang Kristen abad pertama harus menghadapi orang-orang yang membenci mereka. Bagaimana jemaat Tuhan menemukan keberanian melalui Kitab Wahyu?
Sahabat Alkitab, tidak mudah bersaksi di tengah dunia yang menolak keberadaan kita dan tidak bersedia mendengarkan kita. Sering kali kita merasa bersaksi adalah pekerjaan yang sia-sia, dan memilih diam serta mengurus diri sendiri. Sebagian bahkan menarik diri untuk menghadapinya dengan kekerasan. Yang lain memutuskan untuk menjadi sama dengan dunia. “Maka Yohanes pun menceritakan semua yang dilihatnya itu”, demikian bunyi ayat 2. Yang pasti, keberanian tidak harus diidentikkan dengan perlawanan penuh kekerasan. Kesaksian Yohanes merupakan langkah yang berani, sebab hal itu didasarkan pada kebenaran Tuhan Yesus. Setiap orang yang tidak takut mengafirmasi kebenaran melalui kata dan tindakan disebut “berbahagia” (ayat 3).
Adakah titik dalam hidup beriman kita saat bersaksi menjadi hal yang menakutkan? Tampaknya kita tetap harus belajar dari pengalaman umat Tuhan dalam Kitab Wahyu. Umat siap bersaksi akan bertumbuh, sehingga tepatlah ungkapan lama berikut: Semakin dibabat, semakin merambat. Selamat bersaksi dengan penuh keberanian.
Salam Alkitab Untuk Semua