‘Kenapa saya memberikan persembahan?’ adalah sebuah pertanyaan yang akan menjadi upaya permenungan kita atas firman yang direfleksikan pada hari ini. Pertanayan ini adalah penting mengingat ‘memberikan persembahan’ adalah sebuah pratek umum yang kita lakukan. Namun, apakah setiap kita memiliki pemaknaan yang jelas mengenai praktek ini? Atau, jangan-jangan kita justru melakukannya sebatas kebiasaan yang mulai kehilangan nilai?
Teks firman TUHAN pada hari ini menampilkan mengenai inisiatif dari sebagian besar bangsa Israel yang tergerak hatinya untuk menunjang penuh keberhasilan pembangunan seluruh sarana peribadahan. Kita perlu menyadari terlebih dahulu bahwa pada narasi ini, bangsa Israel sedang memulai segala bentuk peradaban peribadahan mereka dari awal. Mereka tidak sedang merenovasi atau memperbarui apa yang telah ada sebelumnya, melainkan membuat semuanya serba baru. Hal ini mereka lakukan berdasarkan panduan yang secara langsung diberikan oleh TUHAN melalui Musa.
Hal yang menarik adalah mereka melakukan seluruh hal tersebut dengan hati yang tergerak sepenuhnya dalam ketulusan. Kondisi ini ditegaskan hingga 3 kali di dalam ayat 20 sampai 29. Tentu saja, hal tersebut bukanlah tanpa makna dan nilai yang mendalam, secara khusus untuk kita refleksikan ke dalam kehidupan peribadahan yang kita lakukan di masa sekarang.
Penegasan tentang ‘hati yang tergerak dan terdorong’ pada diri orang Israel dalam kegiatan pemuatan sarana peribadahan menunjukkan bahwa mereka tidak merasa terpaksa untuk melakukan seluruh panduan yang TUHAN berikan. Artinya, sejak awal mereka tidak merasa terpaksa atau tertekan untuk membuat sarana peribadahan dan menjalankan perintah peribadahan dari TUHAN. Mereka telah menunjukkan bahwa ketulusan hati adalah penggerak utama bagi umat untuk mengalami relasi yang intim dengan TUHAN.
Teks firman yang kita baca pada hari ini semestinya sudah cukup untuk mendorong masing-masing kita mengevaluasi dan merenungkan nilai ‘ketulusan’ dalam setiap bentuk peribadahan yang kita lakukan. Apakah kita melakukan semuanya dengan kesadaran penuh dan hati yang bergerak dengan ketulusan atau jangan-jangan kita hanya menjalankannya sebatas formalitas yang minim makna?