Setelah Ayub meluapkan perasaannya yang tertindas, merasa sendiri dan semakin tertekan dalam argumen-argumen yang menyudutkan, ternyata Zofar tidak mengubah sikap untuk menghadapi Ayub. Melalui pasal 20 ini, kita melihat bagaimana sudut pandang iman Zofar semakin menempatkan Ayub sebagai pihak yang memang pantas untuk mengalami pergumulan tersebut. Bahkan, secara implisit meski sangat menusuk hati, Zofar beranggapan bahwa Ayub adalah contoh orang fasik yang hidup dalam kefanaan dengan segala kejahatan dan akan berimbang dengan hukuman Allah kepadanya. Zofar berkata, “Untuk mengisi perutnya, Allah melepaskan ke atasnya murka-Nya yang menyala-nyala, dan menghujankan itu kepadanya sebagai makanannya.”
Sahabat Alkitab, sudut pandang Zofar pada satu sisi seolah benar karena Allah tidak berkenan pada perilaku fasik. Namun, pada sisi lain pemahaman Zofar tersebut justru menjadi batu sandungan tambahan bagi Ayub. Alih-alih ingin menyelamatkan Ayub melalui teguran iman, Zofar justru semakin memperburuk ketahanan imannya ditengah pergumulan. Pada tahap inilah kita dapat belajar bahwa sudut pandang yang kita miliki tidak dapat serta merta kita lekatkan bagi orang lain, secara khusus pada orang yang sedang mengalami kegelisahan iman, emosi dan psikis.
Setiap umat percaya tentu memiliki cara pandang imannya masing-masing, meskipun berada di dalam aliran gereja yang sama, atau bahkan diajar oleh
pendeta/pendamping spiritual yang sama. Perbedaan cara pandang iman ini sangat mungkin dipengaruhi oleh pengalaman iman masing-masing orang. Namun, di tengah keberagaman cara pandang iman untuk menjalani kehidupan, melalui Ayub 20, kita perlu berhati-hati agar tidak memaksakan perspektif iman kita pada situasi dan kondisi orang lain. Lebih baik menahan diri, dibanding cepat-cepat beropini, namun justru semakin membuat orang lain terpuruk dalam situasi hidupnya. Kiranya hikmat Allah yang menjadi landasan berpikir dan bersikap bagi setiap kita sebagai seorang yang
beriman kepada-Nya.
Salam Alkitab Untuk Semua