Pengendalian diri adalah sebuah keahlian yang perlu dimiliki oleh setiap manusia. Apabila seseorang tidak mampu mengendalikan dirinya, entah pikiran, perkataan, perbuatan, maka ia akan semakin kesulitan untuk menjalani kehidupannya. Hal ini terbukti dengan jelas melalui sikap Bersyazar, anak Nebukadnezar yang menggantikannya sebagai raja bagi kerajaan Babel. Belsyazar telah kehilangan kendali diri pasca meminum banyak anggur yang membuatnya mabuk berat pada pesta yang ia selenggarakan di kerajaannya. Nampaknya, hal ini telah memberikan dampak buruk baginya hingga merasakan kecemasan. Apabila kita membandingkan kisah Nebukadnezar dan Belsyazar, maka kita akan menemukan sebuah kesamaan sebagai momen pertemuan antara mereka masing-masing dengan Allah. Keduanya sama-sama mengalami kecemasan akibat teka-teki pesan yang Allah sampaikan. Perbedaannya, Nebukadnezar cemas akan mimpinya, sedangkan Besyazar cemas akan pengalamannya.
Kecemasan yang dialami Belsyazar merupakan hasil dari ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri. Paling tidak terdapat beberapa bentuk ketidakmampuan dalam mengedalikan diri yang dilakukan oleh Belsyazar, yaitu: Pertama, Belsyazar sudah terbawa suasana dalam hiruk-pikuknya pesta-pora pada saat itu sehingga ia menjadi mabuk. Hal ini mungkin terkesan wajar jika kita menempatkan pemahaman pada konteks saat itu. Namun, bagaimana pun juga kemabukan merupakan kondisi hilangnya kesadaran manusia atas kenyataan yang ia hadapi. Pada kondisi seperti inilah seseorang akan semakin mudah melakukan kesalahan, keboodohan dan kecerobohan dalam hidupnya, sama seperti yang dialkukan oleh Belsyazar. Kedua, di tengah kemabukannya, Belsyazar memberikan perintah untuk melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan, yakni menggunakan perkakas dari Bait Suci sebagai perlengkapan untuk bermabuk-mabukan. Kedua hal inilah yang menghantarkan Belsyazar kepada pengalaman yang mencemaskan hatinya.
Sahabat Alkitab, pengalaman Belsyazar barusan semestinya sudah cukup menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya pengendalian diri. Ketidakmampuan dalam mengendalikan diri dapat membuat kita melakukan sesuatu yang tidak semestinya kita lakukan. Akhirnya, kita hanya akan menemui sebuah sikap penyesalan. Hidup bersama Allah semestinya menjadi sebuah pelatihan akan pengendalian diri dan firman-Nya menjadi pedoman utama bagi kita untuk mengendalikan diri. Hal ini sangat dibutuhkan agar kita tidak sembarangan berpikir, berkata, dan bertindak sehingga kita mampu menjadi kehidupan dalam kesadaran penuh, entah secara fisik maupun iman di dalam Allah.