Hidup berkecukupan apalagi berkelimpahan tentu bukanlah sesuatu yang dihindari oleh hampir seluruh manusia. Hal ini merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhannya untuk mempertahankan hidup, meski proses dan hasilnya tidaklah selalu sama antara satu individu dengan individu lainnya. Ada orang yang tetap merasa kurang dan sulit bersukacita meski hidupnya sudah berkelimpahan harta materi, namun ada juga yang merasa bahagia meski tanpa kelebihan harta yang banyak asalkan kebutuhan dasar sudah terpenuhi. Pada titik inilah terdapat perbedaan cara pandang terhadap harta dan proses menjalani hidup yang akan sangat menentukan nilai dari setiap momen kehidupan yang dijalani oleh seseorang.
Orientasi yang hanya tertuju pada uang atau harta materi tanpa diimbangi oleh kesadaran diri serta pemaknaan yang mendalam atas setiap nilai-nilai proses kehidupan dapat sangat berbahaya bagi seseorang yang berpotensi membuatnya kehilangan prinsip hidup yang bertanggung jawab. Hal ini pula yang muncul dalam dialog ketika TUHAN menyampaikan berita berkat turun-temurun kepada Abram. Janji berkat itu bukanlah sesuatu yang biasa-biasa saja, melainkan sebuah transformasi status serta potensi secara besar-besaran. TUHAN bermaksud untuk melimpahkan berkat bagi Abram, tidak terbatas pada persoalan materiel melainkan merasuk pada setiap aspek diri Abram, yakni keimanan, relasi dan pengaruh.
Esensi yang perlu kita sadari adalah segala berkat yang sudah disampaikan TUHAN bagi Abram serta keturunan-keturunannya bukanlah sebuah kondisi yang berfokus pada diri mereka sendiri, melainkan hanya untuk TUHAN. Hal ini bukan menunjukkan bahwa TUHAN adalah sosok yang egois maupun narsis, melainkan untuk menekankan nilai peran Abram sebagai orang percaya. Melalui perikop ini, para pembaca, termasuk kita di masa sekarang, perlu menyadari bahwa segala janji berkat yang telah, sedang dan akan kita alami merupakan bagian dalam peluang yang perlu kita optimalkan untuk mempersaksikan TUHAN di tengah dunia.