Harta dan kekuasaan kerap menjadi batu sandungan bagi kemanusiaan. Maksudnya, tidak sedikit manusia yang berubah menjadi beringas, entah pada saat mereka berusaha untuk mendapatkannya atau pasca mereka memilikinya. Seseorang yang memiliki harta dan kuasa yang lebih dibanding orang-orang di sekitarya sangat mudah untuk merasa memiliki nilai diri yang lebih tinggi. Bahkan, tidak sedikit pula sikap diskriminatif muncul untuk memisahkan perlakuan terhadap orang-orang dengan harta dan kuasa yang besar dari orang-orang dengan harta dan kuasa yang begitu minim. Tentu saja, budaya semacam ini perlu dikritisi dan tidak dapat dibiarkan terus hadir dalam pola relasi manusia. Terlebih lagi, ketika kita mengetahui bahwa sikap demikian tidaklah selaras dengan pesan kebenaran firman TUHAN.
Pemazmur, melalui perkataannya dalam ayat 34-40 ini memberikan sebuah pesan pengharapan bagi setiap umat TUHAN yang selalu berusaha hidup benar meski kondisi hidup mereka tidaklah senyaman orang-orang fasik yang sombong. Dia begitu menyadari bahwa dalam pertimbangan akal manusiawi, kondisi orang fasik yang menyombongkan segala kekayaan, kuasa dan kenyamanannya mungkin begitu menggiurkan. Bahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa orang taat pun dapat meninggalkan kesetiaannya demi mengalami kondisi hidup yang dipertontonkan oleh orang-orang fasik tersebut jikalau tidak disertai dengan prinsip dan orientasi iman yang benar. Oleh sebab itu, pemazmur mengingatkan para pembaca untuk menyadari bahwa satu-satunya tempat perlindungan, sumber kehidupan dan penolong yang kekal hanyalah didapatkan dari TUHAN.
Sebagai umat percaya kita perlu memiliki kerendahan hati dalam beriman dan orientasi yang selalu terarah kepada TUHAN. Segala kenikmatan sementara yang dipertontonkan oleh para orang fasik dalam kesombongannya tidak semestinya mengalihkan perhatian dan menggerus ketulusan iman kita kepada TUHAN. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada orang-orang yang hidupnya mengalihkan kebenaran justru memiliki kenyamanan hidup yang lebih dari mereka yang berusaha hidup benar dan jujur. Namun, hal tersebut tetap tidak dapat menggantikan esensi dari kebenaran di hadapan TUHAN. Senyaman apa pun kondisi hidup seseorang hanya bersifat sementar jika dijalankan dalan kefasikan dan kesombongan. Sebaliknya, masa depan orang benar selalu lebih panjang di hadapan TUHAN meskipun kenyataan hidup tidak senyaman yang dibayangkan.