Manusia adalah makhluk sosial! Hal ini tentu sudah tidak perlu disangsikan, apalagi diubah. Setiap individu tentu memerlukan praktik sosial untuk menjalani hidup kesehariannya, entah pada saat ia belajar, menghadapi persoalan, menikmati kebahagiaan hingga menggumuli beberapa pergumulan. Semua itu pasti melibatkan kehadiran orang lain. Sebuah kebahagiaan akan terasa hampa jikalau tidak dapat dinikmati atau dibagikan kepada orang lain, paling tidak untuk sekadar cerita. Sebuah kesedihan pun akan semakin sulit untuk dilalui jikalau tidak ada orang lain yang memberikan dukungan. Inilah mengapa setiap manusia perlu memiliki relasi, khususnya yang sehat, dalam menjalani kehidupannya.
Kebutuhan manusia akan relasi yang sehati juga menjadi aspek yang diperhatikan TUHAN dalam proses pembentukan bangsa Israel. Apabila kita perhatikan keempat ayat yang menjadi bacaan pada hari ini, maka dapat ditemukan beberapa kata kunci yang merujuk kepada aspek relasional dalam kehidupan iman bangsa Israel, yakni: pertama, pada ayat 7 sudah dengan sangat tegas ditunjukkan bahwa TUHAN adalah Allah yang sangat dekat dengan bangsa Israel, tidak seperti allah-allah lain yang memberikan jarak sangat jauh dari umat yang menyembahnya; kedua, TUHAN adalah Allah yang merespons setiap seruan umat-Nya (bdk. Ayat 7). Artinya, relasi yang terjalin antara bangsa Israel dengan TUHAN merupakan hubungan yang komunikatif. Ketiga, segala peraturan yang TUHAN berikan melalui Musa merupakan firman yang berguna untuk membawa umat Israel kepada kualitas relasi yang semakin intim dengan-Nya, bukan sebagai beban yang menyulitkan mereka dalam menjalani keseharian (bdk. Ayat 8); kemudian terakhir, sudah selayaknya firman TUHAN yang telah diberikan tadi selalu terintegrasi dalam kehidupan seluruh umat-Nya. Itulah mengapa, pengajaran iman menjadi bagian penting untuk selalu dilakukan dalam kebudayaan umat TUHAN(bdk. Ayat 9).
Sahabat Alkitab, perenungan hari ini telah membawa kita kepada sebuah pilihan untuk menjalani hidup sebagai umat TUHAN, yaitu: Pertama, menjalani hidup beriman secara formalitas yang ala kadarnya tanpa makna yang berarti; Atau kedua, menjalani hidup beriman sebagai sebuah bentuk upaya relasional yang perlu terus dijaga dan dikembangkan. Seseorang yang menjalani pilihan pertama akan menjalani praktik ibadah-doa, dsb, hanya sebatas kebiasaan yang tidak membawa perubahan apa pun dalam relasinya dengan TUHAN. Sedangkan, pilihan kedua akan menghantarkan seseorang pada kesadaran bahwa setiap praktik hidup beriman yang ia lakukan merupakan wujud upaya komunikasi yang akan membuatnya menjadi lebih intim dengan TUHAN. Kita perlu mengingat bahwa TUHAN adalah Allah yang relasional, bukan sosok formalitas.