Penyesalan selalu datang belakangan, kalau di depan namanya pendaftaran! Inilah slogan jenaka yang biasa dilontarkan, meski di dalamnya terdapat nilai pembelajaran atas proses kehidupan yang sangat esensial. Pada satu sisi penyesalan, jika disikapi secara serius, akan menghantarkan orang kepada perubahan yang signifikan. Namun, pada sisi lain, penyesalan akan menghambat seseorang untuk bertumbuh jika tidak dapat disikapi secara tepat dan terhanyut secara berlebihan di dalamnya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika muncul perbedaan pandangan dalam memahami penyesalan. Bagi sebagian orang yang menganggap sinis penyesalan akan dinilai sebagai sebuah produk kesia-siaan yang tidak berguna apa pun. Namun, bagi sebagian lainnya penyesalan juga dapat menjadi sebuah indikator fase proses kehidupan seorang manusia untuk bertumbuh.
Di dalam perikop ini kita melihat cuplikan sebuah penyesalan yang terlontar dari bibir para umat Israel yang juga saling bersautan dengan luapan kasih penuh ketegasan dari TUHAN. Umat Israel yang sedang merasakan konsekuensi dari kebebalan hatinya sedang berusaha meluapkan kerinduannya untuk kembali hidup di dalam firman TUHAN. Di balik kerinduan itu pula terbersit nada-nada penyesalan dibalut pengharapan untuk kembali merasakan damai sejahtera yang berasal dari TUHAN.
Sahabat Alkitab, penyesalan yang dirasakan oleh bangsa Israel mencuat setelah mereka merasakan dampak hidup di luar kehadiran TUHAN atau lebih tepatnya menolak kehadiran TUHAN. Keluhan yang dilantunkan dalam nuansa penyesalan dari bangsa Israel itu telah menjadi sebuah momen penting bagi perjalanan hidup iman mereka ke depan. Pertanyaannya adalah, ‘apakah mereka akan berbalik kembali kepada TUHAN?’ atau ‘Apakah penyesalan itu hanya berlalu begitu saja?’. Mereka memiliki pilihan untuk menindaklanjuti penyesalan itu agar menghasilkan perkembangan dan perubahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Hal ini juga berlaku bagi setiap kita di masa sekarang. Rasanya tidak sedikit umat percaya yang pernah atau sedang menyesali beberapa perbuatannya di masa lampau. Kita memang tidak dapat mengubah masa lalu seperti ‘nasi sudah menjadi bubur’. Namun, itu bukan berarti kita tidak dapat mengolah kehidupan untuk masa depan. Meresapi pengalaman masa lalu secara efektif, bagaimana pun pedih dan pahitnya itu, akan sangat berguna untuk pembentukan diri di masa sekarang dan masa depan dibanding membiarkannya begitu saja sebagai sebuah penyesalan tak berarti.