Abia adalah generasi keempat dalam garis keturunan keluarga kerajaan Daud atau yang kemudian menjadi kerajaan Yehuda. Berbeda dari ayahnya yang dipersaksikan tidak mencari Tuhan, Abia justru memiliki bentuk relasinya yang agak dekat dengan Tuhan. Kitab 2 Tawarikh memang tidak secara eksplisit menggambarkan ketaatan maupun hubungan yang intim antara Abia dengan TUHAN, tidak seperti cara penulis kitab 1 Raja-raja menggambarkan Abia yang dinilai tidak sepenuh hati berpaut pada TUHAN. Namun, berdasarkan penilaian tersebut dan gambaran sosok Abia yang muncul dalam narasi 2 Tawarikh ketika Abia menghadapi Yerobeam di medan perang, kita pun dapat mengambil kesimpulan bahwa Abia masih membangun relasi dengan TUHAN. Kemungkinan besar mengapa ia tidak sepenuh hati berpaut pada TUHAN akibat keberadaan berhala-berhala yang semakin menjamur sejak masa pemerintahan Salomo. Memang sungguh disayangkan bahwa hal tersebut masih menjadi bagian dari kehidupan keluarga kerajaan Daud, namun pada hari ini kita melihat bahwa Abia masih mengingat peran TUHAN dalam kehidupan bangsa dan keluarganya. Itulah mengapa, pada dialog awal Abia berhadapan dengan Yerobeam dan suku Israel lain yang bergabung bersamanya, Abia menitikberatkan peran TUHAN yang menyertai serta memberkati kehidupan Daud dan seluruh bangsa Israel. Pengakuan ini pun tidak sekadar formalitas karena akan membawa dampak besar seperti yang akan muncul pada ayat-ayat berikutnya.
Sahabat Alkitab, mengingat TUHAN dalam kehidupan kita adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan, meski tidak dapat dipungkiri bahwa melakukannya juga dapat menjadi hal menantang. Hal ini semakin terasa sulit ketika ada banyak hal yang mengganggu fokus dan ketulusan dalam relasi antara kita dengan TUHAN. Beragam distraksi itu pun dapat muncul dalam rupa situasi hidup yang penuh hiruk-pikuk kegembiraan, maupun tekanan hidup dalam pergumulan. Itulah mengapa, setiap umat TUHAN juga perlu mawas diri dan lebih peka lagi terhadap kondisi imannya agar tidak mudah terseret arus kondisi hidup yang justru membawanya semakin jauh dari TUHAN. Kebahagiaan memang penuh hal yang dapat disyukuri kepada TUHAN, namun tidak jarang pula manusia justru terlena hingga terlupa akan TUHAN. Begitu pula dengan kondisi hidup dalam pergumulan, terkadang memang muncul seolah menjadi penghalang antara umat dengan TUHAN, namun tidak sedikit pula umat yang justru menjadi semakin tersadar akan peran TUHAN dalam hidupnya. Lantas, bagaimana kita perlu menyikapi hal ini? Kita perlu membangun kebiasaan mengingat akan TUHAN yang tidak hanya ‘campur tangan’, melainkan selalu berperan aktif dan paling besar dalam kehidupan kita. Hal ini akan berpengaruh terhadap cara kita menyikapi beragam situasi hidup yang muncul dan terhadap cara kita memaknai hubungan iman dengan TUHAN di setiap situasi kehidupan.