Gejala-gejala pementingan diri sendiri dan merasa diri sebagai “pusat semesta” mulai menjadi sesuatu yang lumrah di zaman modern ini. Kepedulian terhadap sesama tidak lagi menjadi norma atau nilai yang diperjuangkan. Sebagai pengikut-pengikut Kristus tentu saja hal tersebut menjadi tantangan bagi kita, terutama dalam kaitannya dengan ketaatan terhadap perintah-Nya dan tugas panggilan kita untuk mewartakan kabar baik penyelamatan Allah. Pengikut Kristus harus menawarkan sebuah “nilai tandingan” yang perwujudannya dimulai dari komunitas Kristiani itu sendiri. Inilah pesan yang hendak kita tangkap dalam Roma pasal 15 masih melanjutkan tema yang ada dalam pasal 14 yakni nasihat untuk hidup rukun dengan menyangkal diri dan mengutamakan orang lain. Pada perikop kali ini Paulus melompat lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa mereka yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat. Dalam konteks apakah kita dapat memahami relasi yang kuat dan yang lemah tersebut? Bisa jadi terkait dengan pemahaman iman yang dihidupi seseorang seperti di pasal 14, tetapi tidak menutup kemungkinan pula terkait dengan aspek lain di kehidupan manusia. Satu hal yang pasti konsep ini mendobrak berbagai pemahaman yang biasanya dihidupi oleh seseorang. Saat seseorang berlomba-lomba menjadi “yang kuat” bahkan dengan melakukan segala cara demi keuntungan pribadi ataupun keluarganya, justru yang dinasihatkan Paulus adalah mereka yang merasa “kuat” harus memberi diri bagi yang lain serta memberikan keteladanan dalam urusan kerendahan hati.
Menghidupi nilai tersebut tidaklah mudah maka orang percaya membutuhkan tolok ukur yang tidak tergoyahkan yakni Tuhan Yesus sendiri. Ia hadir dan mengosongkan diri-Nya. Segala keistimewaan Sang Anak Allah ditanggalkan dengan merendahkan diri-Nya menjadi hamba bahkan berkurban dan mati di atas kayu salib. Semua itu dilakukan-Nya untuk membawa kebenaran dan keteladanan agar para murid-Nya mau melakukan hal yang sama yakni menjunjung tinggi kasih, kerendahan hati, serta saling melayani satu sama lain Melalui cara itulah akhirnya keselamatan telah diwartakan kepada seluruh bangsa.
Sebagai pengikut-pengikut Kristus, maka apa yang bisa kita kerjakan adalah meneladani Sang Guru dalam kehidupan kita sehari-hari. Milikilah sikap rela berkorban, rendah hati, mengutamakan orang lain, dan menghidupi kasih dengan sungguh. Jangan sampai kita terbawa arus zaman yang penuh glorifikasi terhadap diri sendiri, terjebak pada upaya-upaya validasi diri yang melelahkan, hingga kepada kemabukan akan kekuasaan yang membutakan. Arus zaman yang demikian menghasilkan orang-orang yang terpinggirkan dan mengalami penderitaan yang tidak berkesudahan. Dengan demikian warta keselamatan melalui keteladanan serta kasih yang mewujud pada kepedulian adalah sesuatu yang harus kita perjuangan dalam dunia yang bergejolak ini.