Tidak pernah ada satupun orang yang dapat menentukan dengan pasti peristiwa yang menimpa dirinya. Saat ini seseorang bisa saja hidup dengan penuh sukacita dan berkecukupan, tetapi dalam sekejap semua itu sirna. Pergumulan dan tantangan datang silih berganti mengganti senyum bahagia dengan tangis serta ratap yang begitu pilu. Itulah dinamika kehidupan umat manusia. Sebagaimana semua orang berhak menjalani hidup yang baik serta penuh sukacita, maka pada saat yang sama nasib buruk juga dapat menimpa semua orang. Maka sebagai orang beriman kita diajak untuk menemukan dan menentukan respon yang tepat dalam menghadapi ragam derita serta dukacita yang menghampiri kehidupan kita.
Ayub adalah sosok pengikut Tuhan yang begitu saleh. Iblis hendak mencobai dia karena menganggap bahwa kesalehannya adalah akibat dari segala kecukupan serta kebahagiaan yang diterimanya. Jangan-jangan Ayub taat kepada Tuhan karena menghendaki berkat-berkat-Nya saja. Pada perikop yang kita baca, malapetaka satu per satu menimpa Ayub dan keluarganya. Pertama-tama, diberitakan bahwa datang orang-orang Syeba menyerang dan merampas lembu/sapi yang membajak, beserta keledai betina yang berharga karena susunya dan keturunannya. Orang-orang itu adalah pengembara yang merampas untuk persediaan kehidupan mereka.
Kedua, api ilahi menyambar dari langit dan memusnahkan kambing-domba beserta penjaga-penjaganya. Kemungkinan besar yang dimaksud adalah badai hebat dengan halilintar yang bertubi-tubi. Rumput kering terbakar oleh api dan hewan lari kocar-kacir karena panik. Ketiga, datang tiga kelompok orang Kasdim bersenjata. Mereka merampas 3000 unta. Unta merupakan hewan yang berharga karena dapat dipakai untuk transportasi di gurun. Keempat, angin ribut yang bertiup dari gurun dengan berputar-putar meruntuhkan rumah ketika anak-anak Ayub sedang berkumpul di rumah anak pertama. Rumah yang mereka tempati runtuh dan membunuh mereka semua. Dua bencana alam dan dua serangan penyamun menghabiskan harta beserta keturunan Ayub. Tidak menyisakan apa pun. Semua peristiwa itu disaksikan oleh seorang saksi mata dan selalu diakhiri dengan penegasan, “hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.”
Jika kita berada dalam posisi Ayub, apa yang menjadi respon kita? Mungkin kita akan sangat terkejut dan tidak mampu berkata apa-apa. Demikianlah yang pada mulanya dikerjakan Ayub. Ia diam dan mengoyak jubahnya dan mencukur kepalanya. Sebuah tanda dukacita dan hati yang hancur. Setelah itu barulah ia berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali kesana.” Sebuah pernyataan yang menyiratkan keberserahan Ayub sekaligus kesadaran bahwa pada akhirnya semua yang ada pada diri manusia adalah pemberian-Nya yang bahkan tidak akan sampai dibawa hingga mati. Ayub mengakui kefanaan manusia dan kepada Tuhan sajalah manusia beroleh kekuatan serta pengharapan. Maka dari itulah di hadapan malapetaka yang begitu hebat, Ayub tidak mempertanyakan, tidak menuduh, dan tidak memberontak. Ia tetap saleh dan jujur, utuh dan tulus. Kiranya kita juga dimampukan untuk memiliki sikap hati yang sama saat tantangan dan pergumulan menghampiri kehidupan kita. Tetap saleh dan tunduk pada-Nya apapun yang terjadi dalam kehidupan. Mungkin prosesnya berat, tetapi pada akhirnya seperti Ayub, kita pun dapat berseru bahwa “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN.”